SISTEM RELIGI DAN UPACARA
KEAGAMAAN DI JAWA
Agama Islam merupakan agama yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat suku bangsa Jawa, yang tampak nyata pada
bangunan-bangunan tempat beribadah orang-orang Islam. Di samping agama Islam
terdapat juga agama besar yang lain, yaitu agama Nasrani dan agama lain. Namun
tidak semua orang melakukan ibadahnya sesuai kriteria Islam, sehingga di dalam
masyarakat terdapat :
1. Golongan Islam santri ialah golongan
yang menjalankan ibadahnya sesuai ajaran
Islam dengan melaksanakan lima ajaran
Islam dengan syariat-syariatnya.
2. Golongan Islam kejawen ialah golongan
yang percaya kepada ajaran Islam, tetapi
tidak secara patuh menjalanakan rukun-
rukun Islam, misalnya tidak shalat,
tidak pernah puasa, tidak pernah
bercita-cita untuk melakukan ibadah
haji, dan sebagainya.
Orang-orang Islam kejawen percaya kepada keimanan Islam walaupun tidak menjalankan ibadahnya, mereka menyebut Tuhan adalah gusti Allah dan menyebut Nabi Muhammad dengan kanjeng nabi. Kecuali itu, orang islam kejawen tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta sehingga ada yang bersikap nerimo, yaitu menyerahkan diri pada takdir.
Bersamaan dengan pandangan tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi dari segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu kesaktian atau kasakten yang terdapat pada benda-benda pusaka, seperti : keris, gamelan, dan lain-lain. Mereka juga mempercayai keberadaan arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus, seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, serta ijin yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan, makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan ketentraman, atau keselamatan. Tetapi sebaliknya ada juga makhluk halus yang dapat menimbulkan ketakutan atau kematian.
Bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan cara, misalnya berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan sesuatu perbuatan, serta makan-makanan tertentu, berkeselamatan dan sesaji. Selamatan dan bersesaji seringkali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu. Selamatan erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhlus halus. Umumnya selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apa pun.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama atas makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam seperti berikut.
1. Golongan Islam santri ialah golongan
yang menjalankan ibadahnya sesuai ajaran
Islam dengan melaksanakan lima ajaran
Islam dengan syariat-syariatnya.
2. Golongan Islam kejawen ialah golongan
yang percaya kepada ajaran Islam, tetapi
tidak secara patuh menjalanakan rukun-
rukun Islam, misalnya tidak shalat,
tidak pernah puasa, tidak pernah
bercita-cita untuk melakukan ibadah
haji, dan sebagainya.
Orang-orang Islam kejawen percaya kepada keimanan Islam walaupun tidak menjalankan ibadahnya, mereka menyebut Tuhan adalah gusti Allah dan menyebut Nabi Muhammad dengan kanjeng nabi. Kecuali itu, orang islam kejawen tidak terhindar dari kewajiban berzakat. Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta sehingga ada yang bersikap nerimo, yaitu menyerahkan diri pada takdir.
Bersamaan dengan pandangan tersebut, orang Jawa percaya kepada suatu kekuatan yang melebihi dari segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal, yaitu kesaktian atau kasakten yang terdapat pada benda-benda pusaka, seperti : keris, gamelan, dan lain-lain. Mereka juga mempercayai keberadaan arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus, seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, serta ijin yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan, makhluk halus tersebut dapat mendatangkan kesuksesan, kebahagiaan ketentraman, atau keselamatan. Tetapi sebaliknya ada juga makhluk halus yang dapat menimbulkan ketakutan atau kematian.
Bilamana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan cara, misalnya berprihatin, berpuasa, berpantang melakukan sesuatu perbuatan, serta makan-makanan tertentu, berkeselamatan dan sesaji. Selamatan dan bersesaji seringkali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu. Selamatan erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhlus halus. Umumnya selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-gangguan apa pun.
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama atas makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan sehari-hari upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam empat macam seperti berikut.
1. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup
seseorang. Jenis selamatan ini meliputi :
hamil tujuh bulan, kelahiran, potong
rambut pertama, menyentuh tanah untuk
pertama kali, menusuk telinga, sunat,
kematian, peringatan serta saat-saat
kematian.
2. Selamatan yang bertalian dengan bersih
desa. Jenis selamatan ini meliputi
upacara sebelum penggarapan tanah
pertanian, dan setelah panen padi.
3. Selamatan yang berhubungan dengan hari-
hari serta bulan-bulan besar Islam.
4. Selamatan yang berkaitan dengan peristiwa
khusus. Jenis selamatan ini meliputi :
perjalanan jauh, menempati rumah baru,
menolak bahaya (ngruwat), janji kalau
sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain.
Di antara jenis-jenis selamatan tersebut, selamatan yang berhubungan dengan kematian sangat diperhatikan dan selalu dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menghormati arwah orang yang meninggal.
Jenis selamatan untuk menolong arwah orang di alam baka ini, berupa :
1. Surtanah atau geblak, yaitu selamatan
pada saat meninggalnya seseorang.
2. Nelung dina, yaitu selamatan hari ketiga
sesudah meninggalnya seseorang.
3. Mitung dina, yaitu selamatan hari ketujuh
sesudah meninggalnya seseorang.
4. Matang puluh dina, yaitu selamatan hari
ke 40 sesudah meninggalnya seseorang.
5. Nyatus, yaitu selamatan hari ke 100
meninggalnya seseorang.
6. Mendak sepisan, yaitu selamatan satu
tahun meninggalnya seseorang.
7. Mendak pindo, yaitu selamatan dua tahun
meninggalnya seseorang.
8. Nyewu, yaitu selamatan genap 1000 hari
meninggalnya seseorang. Selamatan ini
kadang-kadang disebut juga nguwis-
nguwisi, artinya yang terakhir kali.
Selain selamatan, masyarakat Jawa juga mengenal upacara sesajen. Upcara ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus. Sesajen diletakkan di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah kolong jembatan, di bawah tiang rumah, dan di tempat-tempat yang dianggap keramat. Bahan sesajen berupa : ramuan tiga jenis bunga (kembang telon), kemenyan, uang recehan, dan kue apam. Bahan tersebut ditaruh di dalam besek kecil atau bungkusan daun pisang. Ada pula sesajen yang dibuat pada setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang wujudnya sangat sederhana karena hanya terdiri atas tiga macam bunga yang ditempatkan pada sebuah gelas yang berisi air, bersama sebuah pelita, dan ditempatkan pada sebuah meja.
Tujuan menyediakan sesaji tersebut adalah agar roh-roh tidak mengganggu ketenteraman dan keselamatan anggota seisi rumah. Erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap makhluk halus ini, ada pula sesaji penyadran agung yang masih tetap diadakan setiap tahun oleh keluarga Keraton Yogyakarta bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad SAW yang disebut Grebeg Maulud. Adapun kepercayaan kepada kekuatan sakti (kasakten) banyak ditujukan kepada benda-benda pusaka, keris, alat musik Jawa (gamelan), beberapa jenis burung tertentu (perkutut), kendaraan istana (Kereta Nyai Jimat dan Garuda Yeksa), serta kepada tokoh raksasa Bethara Kala.
Banyak aliran kebatinan yang timbul dalam masyarakat sebagai akibat dari sikap orang Jawa yang selalu mengadakan orientasi, yaitu :
1. Gerakan atau aliran kebatinan
keuaniyahan, aliran ini percaya adanya
anasir-anasir roh halus atau badan halus
serta jin-jin.
2. Aliran yang keislam-islaman dengan
ajaran-ajaran yang banyak mengambil
unsur-unsur keimanan agama Islam seperti
soal ketuhanan dan rasul-Nya dengan
syarat-syarat yang dibedakan syariat
Islam dengan unsur-unsur Hindu-Jawa yang
sering bertentangan dengan pelajaran
agama Islam.
3. Aliran kehindujawaan yang percaya kepada
dewa-dewa agama Hindu dengan nama-nama
Hindu.
4. Aliran-aliran yang bersifat mistik
dengan usaha manusia untuk mencari
kesatuan dengan Tuhan.
Sistem organisasi
dan masyrakat di jawa
Secara administratif, desa di Jawa disebut kelurahan yang
dikepalai oleh seorang lurah (istilah untuk daerah lainnya adalah : petinggi,
bekel, glondongan, dan sebagainya). Kelompok desa (15 sampai 25 desa) membentuk
suatu kesatuan administratif yang disebut kecamatan. Kecamatan ini dikepalai
seorang pamong praja yang disebut camat. Di bawah kabupaten ada kesatuan daerah
yang disebut kawedanan yang dikepalai seorang wedanan. Sebuah kawedanan terdiri
dari beberapa kecamatan. Namun, tidak di setiap daerah ada kawedanan.
Di dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, kepala desa dan pembantunya (pamong desa) mempunyai dua tugas pokok, yaitu tugas kesejahteraan desa dan tugas kepolisisan untuk memelihara ketertiban desa. Lurah dipilih dari dan oleh penduduk desa sendiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan memilih dan dipilih yang berlaku.
Untuk memelihara dan membangun desa, para pamong desa di Jawa sering meminta bantuan penduduk desa untuk bekerja sama dalam gugur gunung atau kerik desa. Dengan cara ini, mereka membuat, memperbaiki, atau memelihara jalan-jalan desa, jembatan-jembatan, bangunan sekolah, balai desa, menggali saluran air, merawat makam desa, mesjid atau surau, dan mengadakan upacara bersih desa.
Yogyakarta merupakan wilayah yang berstatus kerajaan. Rajanya bergelar Sultan. Untuk menyesuaikannya dengan garis politik RI yang berdiri sejak 1945, status kesultanan Yogyakarta diubah menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepala pemerintahannya bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pemerintahan di Yogyakarta diatur dalam UU No. 3 tahun 1950.
Di Jawa, seorang lurah biasanya dibantu oleh.
1. Carik, yang bertugas sebagai pembantu
umum dan sekretaris desa.
2. Sosial, yang bertugas memelihara
kesejahteraan penduduk, baik rohani
maupun jasmani.
3. Kemakmuran, yang mempunyai kewajiban
memperbesar produksi pertanian.
4. Keamanan, yang bertanggung jawab atas
ketentraman lahir batin penduduk desa.
5. Kaum, yang mengurus sosial nikah, talak,
rujuk, serta kegiatan-kegiatan
keagamaan, juga soal kematian.
Di dalam melakukan pekerjaan sehari-hari, kepala desa dan pembantunya (pamong desa) mempunyai dua tugas pokok, yaitu tugas kesejahteraan desa dan tugas kepolisisan untuk memelihara ketertiban desa. Lurah dipilih dari dan oleh penduduk desa sendiri sesuai dengan ketentuan-ketentuan memilih dan dipilih yang berlaku.
Untuk memelihara dan membangun desa, para pamong desa di Jawa sering meminta bantuan penduduk desa untuk bekerja sama dalam gugur gunung atau kerik desa. Dengan cara ini, mereka membuat, memperbaiki, atau memelihara jalan-jalan desa, jembatan-jembatan, bangunan sekolah, balai desa, menggali saluran air, merawat makam desa, mesjid atau surau, dan mengadakan upacara bersih desa.
Yogyakarta merupakan wilayah yang berstatus kerajaan. Rajanya bergelar Sultan. Untuk menyesuaikannya dengan garis politik RI yang berdiri sejak 1945, status kesultanan Yogyakarta diubah menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kepala pemerintahannya bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Pemerintahan di Yogyakarta diatur dalam UU No. 3 tahun 1950.
Di Jawa, seorang lurah biasanya dibantu oleh.
1. Carik, yang bertugas sebagai pembantu
umum dan sekretaris desa.
2. Sosial, yang bertugas memelihara
kesejahteraan penduduk, baik rohani
maupun jasmani.
3. Kemakmuran, yang mempunyai kewajiban
memperbesar produksi pertanian.
4. Keamanan, yang bertanggung jawab atas
ketentraman lahir batin penduduk desa.
5. Kaum, yang mengurus sosial nikah, talak,
rujuk, serta kegiatan-kegiatan
keagamaan, juga soal kematian.
Bahasa
Suku bangsa Jawa sebagian besar
menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12%
orang Jawa yang menggunakan bahasa
Indonesia sebagai
bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia
secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan
perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan
lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini
memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa
biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Kepercayaan
Orang Jawa sebagian besar secara
nominal menganut agama Islam. Tetapi
ada juga yang menganut agama Protestan dan Katolik. Mereka juga terdapat di daerah
pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara
masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai
agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang
kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar
diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang
kadangkala menjadi kabur.
Profesi
Mayoritas orang Jawa berprofesi
sebagai petani, namun di perkotaan mereka mendominasi pegawai negeri sipil,
BUMN, anggota DPR/DPRD, pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat
kementerian dan militer. Orang Jawa adalah etnis paling banyak di dunia artis
dan model. Orang Jawa juga banyak yang bekerja di luar negeri, sebagai buruh
kasar dan pembantu rumah tangga. Orang Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia
di luar negeri terutama di negara Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, Arab
Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Taiwan, AS dan Eropa.
Stratifikasi sosial
Masyarakat Jawa juga terkenal akan
pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford
Geertz, pada tahun 1960-an membagi
masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah
penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah
penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi
adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang
karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi
sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan
orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.
Seni
Orang Jawa terkenal dengan budaya
seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi
masyarakat Jawa. Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam
kehidupan budaya dan tradisi Jawa.
Dalam kebudayaan terdapat berbagai
unsur-unsur kebudayaan secara universal. Unsur-unsur universal itu yang
sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah:
1. sistem religi dan upacara
kebudayaan,
2. sistem organisasi dan
kemasyarakatan,
3. sistem pengetahuan,
4. bahasa,
5. kesenian,
6. sistem mata pencaharian hidup,
7. sistem teknologi dan peralatan,
Unsur-unsur kebudayaan itu akan dijumpai pada setiap
belahan di dunia itu pada kelompok masyarakat yang berbudaya.
Salah satu adalah kebudayan Jawa
yang memiliki tatanan budaya yang sangat kompleks dan memilki cakupan
kebudayaan yang luas. Daerah kebudayaan Jawa relatif luas, yaitu meliputi
seluruh bagian tengah dan timur dari Pulau Jawa. Daerah-daerah yang meliputi
kebudayaan Jawa yang sering disebut sebagai daerah kejawen meliputi daerah
Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di luar
itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.
Sehubungan dengan hal itu, maka
seluruh rangka kebudayaan Jawa ini, memiliki pusat kebudayaan. Pusat kebudayaan
merupakan kekayaan kebudayaan. Pusat Kebudayaan Jawa terletak di Yogyakarta dan
Surakarta. Sudah barang tentu di antara sekian banyak daerah tempat kediaman
masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat
lokal dalam berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam
beberapa unsur-unsur kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai istilah tehnis,
dialek bahasa dan lainnya. Namun, perbedaan-perbedaan yang itu tidaklah besar
karena apabila diteliti lebih lanjut menunjukkan satu pola ataupun satu sistem
kebudayaan Jawa.
Salah satu unsur itu yang menarik adalah bahasa.
Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada orang
lain. Bahasa inilah yang menjadi peranan penting dalam hubungan-hubungan sosial
sehari-hari. Salah satu dari unsur atau sistem budaya Jawa adalah mengenai
bahasa. Bahsa berasal dari pusat kebudayaan yang kemudian menyebar sampai ke
daerah pinggiran. Sesampainya di daerah pinggiran bahsa mengalami suatu
perubahan bunyi ujar atau arti yang terkandung dalam bahasa itu. Perubahan itu
di karena oleh lokal geografi dimana bahasa dari pusat kebudayaan di
adopsi oleh masyarakat pinggiran. Lokal geografi dapat ditunjukkan
melalui cara berbicara atau dialek yang diucapkan.
Local geografi kebudayaan Jawa yang berpusat di
Yogyakarta-Surakarta menurut dialekknya ditunjukkan melalui skema dibawah.
JAWA
|
BANYUMAS
|
PASISIR
|
SURAKARTA
|
JAWA TIMUR
|
PURWOKERTO
|
KEBUMEN
|
PEMALANG
|
BANTEN UTARA
|
CIREBON
|
TEGAL
|
SEMARANG
|
REMBANG
|
SURAKARTA
|
YOGYAKARTA
|
SURABAYA
|
MADIUN
|
1. Bahasa Jawa dialek Surabaya
Surabaya merupakan salah satu kota terpenting di
Indonesia. Surabaya merupakan ibukota dari Propinsi Jawa Timur. Surabaya yang
notabene merupakan kota pelabuhan banyak menerima pengaruh kebudayan dari luar.
Sebagai kota pelabuhan Surabaya akan banyak dikunjungi oleh suku bangsa lain,
yang berasal dari luar terutama. Namun tidak demikian, Surabaya tetap
mendapatkan pengaruh lebih banyak dari pusat-pusat kebudayaan (Surakarta).
Karena dilihat dalam bidang sintaksis, struktur kalimat bahasa Jawa dialek
Surabaya tak jauh berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Perbedaannya hanya
terletak pada bidang intonasi. Intonasi bahasa Jawa dialek Surabaya mirip
dengan intonasi pemakai bahasa Madura dalam berbahasa Jawa. Hal ini tidak
mengherankan, sebab di daerah Surabaya dan sekitarnya banyak tinggal orang
Madura yang berbahasa Jawa. Intonasi bahasa Madura digunakanya untuk berbahasa
Jawa, sehingga hal ini mempengaruhi bahasa Jawa. Intonasi ini kemudian
diwariskan secara turun-temurun.
Dalam hal itu, maka kebahasaan di Surabaya dapat
dibedakan lagi menjadi:
1. Bahasa Jawa Baku (Bahasa Jawa
Surakarta) yang berfungsi seperti Bahasa Jawa pada umumnya. Bahasa jawa baku
ini digunakan sebagai bahsa pengantar di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah
Pertama, dalam peraturan-peraturan resmi yang telah ditetapkan.
2. Bahasa Jawa dialek Surabaya, yang
dipakai dalam keadaan yang bersifat informal, tak dinas, santai, akrab, bernada
kekeluargaan, dan berlatar belakang kedaerahan.
2. Cakupan Wilayah Dialek Surabaya
Orang-orang yang memakai dialek
Surabaya dapat disebut sebagai masyarakat Surabaya. Yang dimaksud dengan
masyarakat Surabaya tidak terbatas pada kotamadya Surabaya. Tetapi cakupan
wilayah masyarakat Surabaya meliputi daerah Gresik, Mojokerto, dan Sidoarjo. Di
daerah ini, terutama di kampung-kampung atau di desa-desa, orang sering
bercakap dengan bahasa Jawa krama, terutama anak muda pada orang tua
atau orang yang dianggap tua, ataupun pada orang sebaya yang baru dikenalnya.
3. Bahasa Sebagai Tanda Status Sosial dan
Penggunaannya
3.1 Bahasa Jawa Baku
Di dalam pergaulan-pergaulan hidup
maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada
waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan
membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan,
berdasarkan usia maupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada dua
macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya. Yaitu bahasa
Jawa Ngoko dan Krama.
3.1.1 Bahasa Jawa Ngoko
Bahasa Jawa Ngoko merupakan
bahasa apa adanya, tanpa adanya tujuan untuk memberikan penghoramatan. Bahasa
Jawa Ngoko digunakan oleh:
1. Anak yang belum mengerti apa-apa
(kanak-kanak)
2. Orang yang berbicara dengan orang
seumurannya.
3. Orang tua yang berbicara dengan
anak muda.
4. Pemimpin yang berbicara denagn
bawahannya.
Dalam bahasa Jawa ngoko,
masih dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu:
3.1.1.1 Ngoko lugu, adalah
bahasa ngoko apa adanya, tanpa tercampur dengan bahasa Krama.
Contoh: Kowe mau numpak apa?
Bocah-bocah padha mlaku-mlaku.
3.1.1.2 Ngoko andhap, adalah
bahsa ngoko ayng tercampur denagn bahsa krama.
Contoh: Sliramu mau nitih apa?
Sampeyan mau numpak apa?
Panjenengan mau nitih apa?
Pak Sastra ora sida tindak-tindak.
3.1.2 Bahasa Jawa Krama.
Bahasa Jawa Krama merupakan
bahsa taklim atau bahasa yang digunakan untuk menghormati seseorang.
Bahasa Jawa krama digunakan oleh:
1. Anak muda kepada orang yang lebih
tua atau orang yang dianggap lebih tua.
2. Murid kepada guru
3. Anak kepada orang tuanya.
4. Bawahan kepada atasannya.
3.1.2.1 Wujud dari bahasa Jawa Krama
adalah:
a. Wujud dari pembetulan bahsa Jawa Ngoko
yang di-krama-kan, contohnya
Kurang
Dadi
Upama
Cedhak
Mau
Nganti
Kowe
|
——————-
———-
———-
———-
———-
———-
|
Kirang
Dados
Upami
Celak
Wau
Ngantos
Panjengengan
|
b. Wujud kata lain, namun artinya
tetap atau kata yang berasal dari serapan bahasa asing, contohnya
Telu
Lima
omah
|
——————-
———-
|
Tiga
Gangsal
griya
|
c. Wujud kata yang sama dengan Jawa
Ngoko, seperti; wani, pance, anyar, wulang, dsb. Kata-kata seprti itu disebut
sebagai kata ”krama ngoko”.
d. Wujud kata yang boleh
di-krama-kan atau tidak di-karama-kan, kata itu disebut ”krama wenang”,
contohnya
Rokok/ses
Utama/utami
Ijen/piyambak
3.1.2.2 Bahasa Jawa Krama Inggil.
Bahasa Jawa krama inggil, tingkatan untuk
menghormati lebih tinggi daripada bahas Jawa krama. Bahasa Jawa krama inggil
disebut sebagai bahasa kurmat luhur. Kata-kata bahasa Jawa krama inggil
tidak terlalu banyak, krama inggil hanya menjelaskan mengenai nama anggota
badan, tempat, tindakan, keadaan, dan nama-nama barang yang sering digunakan
oleh orang yang dihormati.
Contoh:
Ngoko
|
Krama
|
Krama Inggil
|
Arti
|
Njaluk
Kandha
Mlaku
Lunga
Kowe
|
Nyuwun
Matur
Mlampah
Kesah
Sampeyan
|
Mundhut
Dhawuh, ngendika
Tindak
Tindak
Panjengengan
|
Membeli
Berkata
Berjalan
Pergi
Kamu
|
Selain itu, bahasa Jawa yang telah diklarifikasinya
dipergunakan juga tergantung pada tempat bahasa itu digunakan. Sepert bahasa Kedhaton
atau bahasa Bagongan yang digunakan khusunya untuk kalangan istana;
bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-orang di desa-desa; dan
akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa daerah yang
diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat
seseorang.
3.2 Bahasa Jawa Dialek Surabaya.
Dalam bentuk morfologi, bahasa Jawa
dialek Surabaya tidak mempunyai kekhususan yang berbeda dengan bahasa Jawa pada
umumnya. Sistem imbuhan, ulangan dan kata majemuk umumnya tak berbeda dengan
bahasa Jawa umum.
Dilihat dari segi fonetik, perbedaan
fonetik antara bahsa Jawa dialek Surabaya dengan bahsa Jawa umum terletak pada
perbedaan vokal dan konsonan. Misalnya kata pitek menjadi petek, irung
menjadi erung, dhuwur menjadi dhukur, nyilih
menjadi nyelang, siji menjadi sithuk, dan kari
menjadi gari.
Daftar kata bahasa Jawa dialek
Surabaya. Kata-kata itu seperti: arek, cacak, ndhuk, kon, pena, rika,
embong, mene, nggone, montor muluk, praoto, kunci gombyok, diteleki,
mumet, bahbah (e)na, temen, nedha nrima, dan lain-lain. Untuk mengingatkan
pembaca jangan sekali-kali menggunakn kata gitik dan balon di
Surabaya. Sebab kata gitik (digitik, nggitiki) berarti menyenggamai
seorang wanita. Begitu pula kata balon, diartikan pelacur. Sebagai
gantinya, sebaliknya menggunakn kata dop lampu atau plembungan.
Bahasa Jawa berdialek surabaya
merupakn bahsa rakyat. Bila bahasa ini kini digunkan oleh para pegawai di
kotamadya, gubernuran, di universitas (baik dosen atau mahasisiwa), dan
lain-lain, karena anak-anak rakyat tersebut kini banyak yang menjadi pegawai
negeri atau orang yang berpangkat.
Ciri bahasa rakyat ini antara lain
ditandai dengan pemakaian kata-kata dancuk, damput, jangkrik, taek, simboke
ancok, dobol, asu, matamu, e jaran, dan lain-lain, dalam pergaulan
sehari-hari tanpa memandang pangkat, jabatan, maupun tempat. Kata-kata ini
dalam bahasa Jawa umum dipandang orang sebagai kata-kata yang kasar atau kotor
(saru), dan biasanya digunakan untuk memarahi seseorang atau ditujukan kepada
orang yang dibenci, tapi dalam masyarakat Surabaya kata-kata ini digunakan
dalam situasi penuh keakraban, terutama kata dancuk, diamput, dan jangkrik.
Dikatakan penuh keakraban karena bila kata tersebut diucapkan seseorang
terhadap orang lain (teman atau kenalan lama), maka yang dikenalinya tidak
marah. Jadi sambil bersalaman, kata itu diucapkan.
Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi)
Teknologi merupakan salah satu
komponen kebudayaan.
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.
Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
- alat-alat produktif
- senjata
- wadah
- alat-alat menyalakan api
- makanan
- pakaian
- tempat berlindung dan perumahan
- alat-alat transportasi
[sunting] Sistem mata pencaharian
Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:[sunting] Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya.
Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sistem Kepercayaan
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:
... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.[3]
Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti "10 Firman" dalam agama Kristen atau "5 rukun Islam" dalam agama Islam. Kadang-kadang agama dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi. Agama juga memengaruhi kesenian.
[sunting] Agama Samawi
Tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, sering dikelompokkan sebagai agama Samawi[4] atau agama Abrahamik.[5] Ketiga agama tersebut memiliki sejumlah tradisi yang sama namun juga perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya. Ketiganya telah memberikan pengaruh yang besar dalam kebudayaan manusia di berbagai belahan dunia.Yahudi adalah salah satu agama, yang jika tidak disebut sebagai yang pertama, adalah agama monotheistik dan salah satu agama tertua yang masih ada sampai sekarang. Terdapat nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi yang juga direferensikan dalam agama Abrahamik lainnya, seperti Kristen dan Islam. Saat ini umat Yahudi berjumlah lebih dari 13 juta jiwa.[6]
Kristen (Protestan dan Katolik) adalah agama yang banyak mengubah wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St. Thomas Aquinas dan Erasmus. Saat ini diperkirakan terdapat antara 1,5 s.d. 2,1 milyar pemeluk agama Kristen di seluruh dunia.[7]
Islam memiliki nilai-nilai dan norma agama yang banyak memengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan sebagian wilayah Asia Tenggara. Saat ini terdapat lebih dari 1,5 milyar pemeluk agama Islam di dunia.
Sistem pendidikan
. Pendidikan Masa Hindu
Buddha
Pembahasan sejarah Hindu
Buddha di Indonesia akrab di awali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad
ke-5 M, antara lain: kerajaan Hindu Buddha di Kutai [kalimantan]. Di Jawa barat
muncul kerajaan Hindu Tarumanegara. Pada masa ini lembaga-lembaga pendidikan
telah ada di Indonesia khususnya di Jawa sejak periode permulaan. Pada masa ini
pendidikan melekat dengan agama.
Pada masa Hindu Buddha ini,
kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan
pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia
setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang
diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu
kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti,
perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa, dan lain-lain. Pola pendidikannya
mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruangan diskusi
dan seminar.
Menjelang periode akhir, pola
pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosial, tetapi
para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot
materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid ini sembari belajar
juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.[2]
Sistem pendidikan Hindu Buddha
dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan
bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia
dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi
dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki tempat
bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga
ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri
khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau
pondokan. Bentuk patapan sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar,
ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah resi
yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala
bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari
sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh
seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala,
atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan
tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau
kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga
pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk
kepentingan agama dan negara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewa guru.[3]
Masuknya Hindu Buddha juga
mempengaruhi kehidupan masyarakat indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab
sebelumnya masayarakat Indonesia khususnya Jawa belum mengenal tulisan. Namun
dengan masuknya Hindu Buddha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal
budaya baca dan tulis. Diantara bukti-bukti tersebut adalah:
# Digunakannya bahasa
sansekerta dan huruf pallawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tersebut
terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai
digunakan bahasa kawi, jawa kuno, dan lain-lain.
# Telah dikenal sistem
pendidikan berasrama [ashram] dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk
mempelajari agama Hindu Buddha.
# Lahirnya banyak karya
sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam
budaya Hindu Buddha. Seperti: Bharatayuda, Arjuna Wiwaha, Smaradhana,
Negarakertagama, dan Sutasoma.
# Berkembangnya ajaran budi
pekerti berlandaskan ajaran agama Hindu Buddha. Pendidikan tersebut menekankan
kasih sayang, kedamaian, dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai
dikenal dan diamalkan oleh sebagian masyarakat. [4]
Secara umum dapat disimpulkan
bahwa, pengelola pendidikan adalah kaum Brahmana dari tingkat dasar sampai
dengan tingkat tinggi, bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari
satu guru ke guru yang lain, kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk
mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya
yang pergi belajar ke guru-guru tertentu, pendidikan kejuruan atau keterampilan
dilakukan secara turun temurun melalui jalur kastanya masing-masing.[5]
2. Pendidikan Pada Masa
Permulaan Islam
Pendidikan Islam di Indonesia
pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal
yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan,
karena lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara
sudah ramai. Dakwah Bil Hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai
pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau
memeluk ajaran Islam. Selanjutnya setelah agama ini berkembang di tiap-tiap
desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau
masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan
juga tempat untuk belajar membaca al qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang
bersifat elementer lainnya.
Metode pembelajarannya adalah
seorang [murid secara perorangan atau bergantian belajar kepada guru] dan
halaqah atau wetonan [guru mengajar sekelompok murid yang duduk mengitarinya
secara kolektif atau bersama-sama]. Mereka yang berkeinginan melanjutkan
pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup dari langgar/ masjid di
kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren. Secara tradisional, sebuah
pesantren identik dengan kyai [guru/ pengasuh], santri [murid], masjid,
pemondokan [asrama], dan kitab kuning [referensi atau diktat ajar]. Sistem
pembelajaran relatif serupa dengan sistem di langgar atau masjid, hanya saja
materinya kini kian berbobot dan beragam, seperti bahasa, dan sastra arab,
tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh, dan lainnya.
Ketika era penjajahan dimulai,
pendidikan islam tetap masih dapat berlangsung secara tradisional melalui para
guru agama baik yang berbasis di langgar atau masjid maupun yang berada di
pesantren-pesantren dan madrasah.
Secara umum, pendidikan Islam
di masa pra kemerdekaan ini dapat diikhtisarkan mengambil bentuk sebagai
berikut: pertama, langgar. Dikelola seorang amil, modin atau lebe yang
berfungsi sebagai guru gama sekaligus pemimpin ritual keagamaan di masyarakat.
Materi ajar bersifat elementer. Metode pembelajaran sorogan dan halaqah. Tidak
ada biaya formal, seringkali hanya berupa in natura. Kedua, pesantren.
Murid di asrama kan di pondok yang di bangun oleh seorang sang guru atau dengan
biaya swadaya masyarakat setempat. Ketiga madrasah. Pola pendidikan
teratur dan berjenjang. Guru menerima imbalan tunai secara tetap. Metode
menjadi bersifat klasikal. Pengetahuan umum diajarkan di samping materi-materi
ilmu agama.[6]
3. Pendidikan Masa Kolonial
Pendidikan selama penjajahan
Belanda dapat dipetakan kedalam dua periode besar, yaitu pada masa VOC
[Vereenide Oost-Indische Compagnie] dan masa pemerintahan Hindia Belanda
[Nederlands Indie]. Pada masa VOC yang merupakan sebuah kongsi [perusahaan] dagang,
kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan
kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negri Belanda sendiri dimana
lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan,
maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di indonesia harus berada
dalam pengawasan dan kontrol VOC.
Pada masa ini, wajah
pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak
pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang
diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat
diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh
bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal
dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial
lebih mengadopsi pendidikan Ala Eropa.
Namun kemudian mulai timbul
kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan,
termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih
memikat rakyat, seperti misalnya taman siswa dan Muhammadiyah.
Pada masa ini sistem Eropa dan
tradisional [Pesantren] sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini
mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang: mengandalkan
sistem pendidikan pada institusi formal semacam sekolah dan pesantren.
Menurut S. Nasution, pada
dasarnya pendidikan masa kolonial Belanda itu memiliki ciri-ciri umum sebagai
berikut.
Pertama, gradualism
yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan anak-anak Hindu Belanda. Sistem ini
sangat menguntungkan bagi Belanda yaitu berfungsi untuk menjaga agar anak-anak
Belanda selalu lebih maju.
Kedua, dualisme
dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antar pendidikan
belanda dan pendidikan pribumi. Sistem pendidikan terbagi ke dalam dua kategori
yang jelas. Sekolah belanda dan sekolah pribumi, masing-masing dengan inspeksi,
kurikulum, bahasa pengantar, dan pembiayaan tersendiri.
Ketiga, kontrol
sosial yang kuat. Sampai tahun 1918 segala msalah pendidikan diputuskan hanya
oleh pegawai Belanda saja, tanpa konsultasi dengan masyarakat Hindia Belanda.
Oleh karena itu, pendidikan dikontrol secara sentralistik, guru-guru dan orang
tua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan. Segala soal
mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah,
jenis sekolah, pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat.
Keempat,
keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai
sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan. Didirikannya sekolah
hanyalah dengan tujuan untuk mendidik anak-anak aristokrasi di jawa untuk
menjadi pegawai perkebunan pemerintahan selam masa taman paksa.
Kelima, adanya
prinsip konkordinasi. Ini bertujuan untuk menjaga agar sekolah-sekolah di
Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah-sekolah
di negri Belanda, dengan tujuan mempermudah perpindahan murid-murid dari Hindia
Belanda ke sekolah-sekolah di negri Belanda.
Keenam, tidak
adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak
pribumi.
Secara umum sistem pendidikan
pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1.
Pendidikan Dasar, yaitu dibagi kedalam tiga kelas berdasar rengkingnya. Kelas
satu diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi, dan menghitung. Kelas
dua mata pelajarannya tidak termasuk menghitung. Kelas tiga materi pelajarannya
fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata.
2.
Sekolah Latin, yaitu diawali dengan sistem numpang tinggal [in de kost]
di rumah pendeta tahun 1642. mata pelajaran utamanya adalah bahsa latin. Tetapi
akhirnya sekolah ini secara resmi di tutup pada tahun 1670.
3.
Seminarium Theologicum [sekolah seminar], yaitu sekolah untuk mendidik calon-calon
pendeta, yang didirikan pertama kali oleh gubernur jendral Van Lmhoff tahun
1745 di Jakarta. Sekolah ini dibagi menjadi empat kelas secara berjenjang
4.
Academie Der Marine [akademi pelayanan]
5.
Sekolah Cina
6.
Pendidikan Islam, yaitu pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan
melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar
sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi
atau mengaturnya.
4. Pendidikan Pada Masa
Walisongo
Interelasi Islam dan
kebudayaan jawa di bidang pendidikan tidak lupa dari perjuangan Walisongo dalam
mengislamkan tanah jawa dan perkembangan pendidikan pesantren di tanah Jawa.
Secara historis, asal-usul pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah
pengaruh Walisongo abad 15-16. pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik
di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang, khususnya di Jawa selama
berabad-abad.
Pesantren adalah sebuah
lembaga pendidikan keagamaan di jawa, tempat anak-anak muda bisa belajar dan
memperoleh pengetahuan keagamaan yang tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok
munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena
disitulah anak-anak muda akan mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa
arab yang ditulis berabad-abad yang lalu.
Ada ahli sejarah yang
menganggap bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang merupakan
kelanjutan dari lembaga pendidikan pra-Islam, yang disebut mandala. Mandala
telah ada sejak sebelum majapahit dan berfungsi sebagai pusat pendidikan
semacam sekolah dan keagamaan. Bangunan mandala dibangun di tas tanah perdikan
yang memperoleh kebebasan sangat luas dari beban-beban penyerahan pajak, kerja
rodi, dan campur tangan pihak kraton serta pemilik tanah yang tidak berkaitan
dengan keagamaan. Mandala adalah tempat yang di anggap suci karena di situ
tempat tinggal para pendeta atau par pertapa yang memberikan kehidupan yang
patut di contoh masyarakat sekitar karena kesalehannya, dan laen-laen.
Pesantren dan mandala
mempunyai persamaan-persamaan, diantaranya:
1.
Sama-sama memiliki lokasi jauh dari keramaian di pelosok yang kosong dan berada
pada tanah perdikan atau desa yang telah memperoleh hak istimewa dari penguasa.
Banyak pertapaan atau mandala di bagian timur jawa di masa Hindu yang dihuni
para resi yang menjalankan latihan rohani sambil bertani. Persamaan itu ia
contoh kan sebagaimana sunan kalijaga yang sering bersemedi dan melakukan
tirakat di pertapaan mantingan yang sepi, yang hal itu juga dilakukan oleh para
resi dalam tradisi pra-Islam.
2.
Lembaga pendidikan keagamaan Hindu Buddha mandala dan lembaga pendidikan
keagamaan Islam pesantren sama-sama memiliki tradisi ikatan guru murid. Guru
adalah bapak bagi murid dan murid berbapak kepad gurunya. Ikatran guru murid
ini merupakan ciri yang umum dalam kehidupan di mandala, yaitu murid yang jauh
dari orang tuanya diserahkan pendidikannya kepada guru sebagai pengganti orang
tua di lembaga pendidikan pra Islam. Hubungan guru murid juga menjadi ciri
dalam pendidikan Islam, terutama karena perkembangan lembaga tarekat-tarekat
yang berada di pesantren.
3.
Tradisi menjalin komunikasi antardharma, yang juga dilakukan anatara pesantren
dengan perjalanan rohani atau lelana. Mengambil contoh perjalan hayam wuruk
yang diiringi oleh rombongan keraton untuk mengunjungi satu pertapaan ke
pertapaan yang lain. Tapi ini berbeda dengan pengembangan rohani dalam tradisi
pesantren dengan tradisi agama Hindu Budha. Pengembaraan rohani tersebut sangat
berkaitan dengan perjalanan ilmiah yang ingin dicapai dalam tradisi pesantren,
yaitu untuk menambah ilmu. Perjalanan ilmiah atau yang sebut rihlah ilmiah
memunculkan santri [berarti siswa atau murid sebuah pesantren][8]
yang terus menerus ingin menambah ilmunya.
4.
Metode pengajarannya yang disebut halaqah [lingkaran]. Dalam halaqoh kiai
biasanya duduk dekat tiang, sedangkan para murid duduk di depannya membentuk
lingkaran. Dalam halaqoh biasanya murid yang lebih tinggi pengetahuannya akan
duduk pada posisi yang lebih dekat dengan kiai dari pada murid yang lainnya.
Tokoh sejarawan lain yang
menduga bahwa pesantren merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan keagamaan
Hindu Budha mandala di tanah Jawa adalah pendapat Simanjuntak. Ia menyatakan
bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam telah mengambil
model dan tidak mengubah struktur organisasi dari lembaga pendidikan mandala
pada masa Hindu. Pesantren hanya mengubah isi agama yang dipelajari, bahasa
yang menjadi sarana bagi pemahaman pelajaran agama, dan latar belakang para
santrinya.
Demikian pula Abdurrahman
Mas’ud berpendapat bahwa pesantren sebagai institusi pendidikan Islam memiliki
kesinambungan dengan lembaga pendidikan gurucula yang telah ada di masa pra
Islam di Jawa. Pesantren memiliki akar budaya, ideologis, dan historis dari
lembaga pendidikan Hindu Budha yang dilestarikan dengan memberikan modifikasi
substansi yang bernuansa islami.
Pendekatan pendidikan yang
digunakan Walisongo diantaranya yaitu sebagai berikut:
a.
Modeling
Yang perlu ditegaskan disini
adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting
dalam filsafat jawa. Walisongo yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat
pada guru besar dan pemimpin muslimin, nabi Muhammad SAW.
b.
Substansi Bukan Kulit Luar
Ajaran al-Qur’an dan hadits
pada dasarnya berkisar dengan hubungan tuhan dengan makhluk di bumi, dan
tentang bagaimana agar makhluk selamat lahir batin, dunia akhirat. Dengan
demikian, tujuan Walisongo adalah untuk menerangkan bagaimana menerapkan teori
modalitas hubungan Allah dengan hambanya agar mudah ditangkap. Maka, ajaran
tauhid adalah salah satu materi pokok yang disajikan sejak awal. Karena lebih
mengutamakan pendekatan substantif, maka jika terlihat pendekatan Walisongo
sering menggunakan elemen-elemen non Islam, sesungguhnya hal ini adalah alat
untuk mencapai tujuan yang tidak mengurangi subtansi dan signifikansi ajaran
yang diberikan.
c.
Pendidikan Islam yang Tidak Diskriminatif
bahwa pendidikan Islam
Walisongo ditujukan pada masa dapat dilihat pada rekayasa mereka terhadap
pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini justru dijadikan akibat dalam
dunia pendidikan pesantren dewasa ini. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa
ini telah berkembang dalam tradisi pesantren seperti kesalehan sebagai cara
hidup kaum santri, pemahaman, dan pengaripan terhadap budaya lokal, semua ini
adalah bagian dari warisan Walisongo.
d.
Dengan pendekatan kasih sayang
bagi Walisongo, mendidik
merupakan tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya mendidik anak
kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah “sayangi, hormati, dan
jagalah anak didik mu, hargai lah tingkah laku mereka sebagaimana engkau
memperlakukan anak turunan mu. Beri mereka makanan dan pakaian hingga mereka
dapat menjalankan syariat islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan
Religi
Sistim religi Jawa merupakan hasil olah
‘cipta rasa karsa’ dan ‘daya spiritual’ manusia Jawa. Olah ‘cipta
rasa karsa’ dan ‘daya spiritual’ tersebut melahirkan pemahaman adanya ‘maha
kekuatan’ yang ‘murba wasesa’ (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya. Maka
lahir kesadaran hakiki tentang adanya ‘realitas tertinggi’ yang
disebut ‘Kang Murbeng Dumadi’ (sebutan lain: Kang Maha Kuwasa, Hyang
Wisesa, Hyang Tunggal, dll.).
Karena dasarnya sebagai hasil olah ‘cipta rasa
karsa’ dan ‘daya spiritual’ maka ada ‘perjalanan’ menuju kesadaran ‘adanya’ Realitas
Tertinggi yang disebut ‘Kang Murbeng Dumadi’ tersebut secara ‘rasional
logic’. Adalah ‘keunikan’ Jawa yang kemudian mendiskripsikan Kang Murbeng
Dumadi tersebut ‘tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine’ (tidak
bisa digambarkan wujudnya dan ‘melingkupi-menguasai-mengatur-mengendalikan’
seluruh alam semesta dengan seluruh isinya). Diskripsi yang demikian merupakan ‘puncak’
pengertian paripurna orang Jawa tentang ke-‘Maha Esa’-an Tuhan yang bisa
digapai ’cipta rasa karsa’ dan ’daya spiritual’ manusia.
‘Kang Murbeng Dumadi’ juga disebut ‘Guruning
Ngadadi’ yang maknanya ‘sumber awal’ semua yang ada. Dari ‘Guruning
Ngadadi’ mengada (tercipta) alam semesta yang terdiri dari 3 (tiga) unsur: bumi
lan langit (materi), cahya lan teja (cahaya dan enerji), dan ‘Sejatining
Urip’ (Ruh Alam Semesta) yang diskripsinya: “Berujud dzat mutlak
suwung (kosong), abadi, tanpa arah dan tempat, tanpa kantha (wujud), tiada bau
rasa dan suara, bersifat elok, bukan laki-laki bukan perempuan bukan banci,
merasuki seluruh jagad seisinya”.
Menurut pandangan Jawa, ‘manusia hidup’ sebagai
salah satu ‘ciptaan’ yang menjadi isi alam semesta, maka pada dirinya terdapat
‘tajali’ (pancaran, emanasi, derivat) dari ketiga unsur semesta (materi,
cahaya/enerji, dan urip/roh/suksma). Demikianlah, maka ‘manusia hidup’ disebut
jagad cilik (mikro kosmos) yang dinyatakan ‘jumbuh’ (berhubungan secara
kosmis-magis) dengan ‘jagad gedhe’ (makro kosmos, alam semesta).
Ketika manusia mati, maka semua unsur mengurai
dan kembali ke sumbernya masing-masing. Namun demikian bagi urip/roh/suksma
tidak mudah untuk kembali manunggal dengan ‘Sejatining Urip’ karena mengalami
‘pemudaran’ kesucian dzatnya sebagai akibat menjalani hidup di dunia. Banyak
suksma-suksma yang ‘tersesat’ ke alam lain (alam binatang dan alam lelembut).
Ada pula yang ‘klambrangan’ (tersesat) ke ‘kayu watu’ (pepohonan dan batu)
serta menjadi danyang di tempat tersebut. Adapun yang berhasil melepaskan diri
dari ‘jebakan’ alam lain tersebut kebanyakan berada di ‘tempat penantian’ yang disebut
sebagai ‘Swarga Pangrantunan’ atau ‘Gendhaga Suci’ untuk
menunggu ketentuan perjalanannya lebih lanjut. Ada yang kemudian terlahir
kembali ‘menitis’ ke ‘anak turun’-nya, ada yang kemudian menghuni ’Alam Alus’
menjadi ’Para Suci’.
Yang mulus bisa manunggal kembali dengan ‘Sejatining Urip’ disebut ‘nyawarga’ (berkumpul kembali dengan warganya). Istilah lain, ‘muksa’. Maka kemudian terlahir ajaran laku kebatinan (spiritualisme) Jawa yang pada intinya mengajarkan upaya ‘mensucikan diri’ untuk bisa mengantar suksmanya kembali manunggal dengan ‘Sejatining Urip’ atau ‘muksa’.
Yang mulus bisa manunggal kembali dengan ‘Sejatining Urip’ disebut ‘nyawarga’ (berkumpul kembali dengan warganya). Istilah lain, ‘muksa’. Maka kemudian terlahir ajaran laku kebatinan (spiritualisme) Jawa yang pada intinya mengajarkan upaya ‘mensucikan diri’ untuk bisa mengantar suksmanya kembali manunggal dengan ‘Sejatining Urip’ atau ‘muksa’.
Berdasar konsep ‘sistim religi’ (kepercayaan)
Jawa sebagaimana diuraikan di atas, maka kemudian terajarkan banyak ‘ritual
panembah’ kepada Tuhan dan ‘ritual sesaji’ untuk memule (memuliakan)
arwah leluhur. Ritual memuliakan arwah leluhur ini banyak mengundang ‘anggapan’
sebagai ‘menyembah’ arwah leluhur dan dikonotasikan sebagai ‘syirik’. Padahal
ritual dimaksud adalah upaya memuliakan dan berkomunikasi dengan para arwah
leluhur yang dimungkinkan belum mencapai ‘kasampurnan’ dan bersemayam di alam
lain (pangrantunan, alam alus, dan pedanyangan). Dalam hal ini, pandangan Jawa
menyatakan bahwa semua arwah yang belum mencapai ‘kasampurnan’ masih bisa
berhubungan (ada ikatan spiritual) dengan anak keturunannya. Berdasar paham
tersebut dinyatakan bahwa pekerti anak keturunan yang baik akan mampu membantu
‘nyuwargakake’ (mengantar ke sorga) para leluhurnya. Meski paham yang demikian
dianggap ‘tidak masuk akal’,
namun mengandung makna ‘pendidikan’ tentang budi pekerti luhur yang harus diemban setiap insan demi kepentingan ‘menyempurnakan’ arwah leluhurnya.
namun mengandung makna ‘pendidikan’ tentang budi pekerti luhur yang harus diemban setiap insan demi kepentingan ‘menyempurnakan’ arwah leluhurnya.
Ritual panembah Jawa tidaklah sama dengan ritual
agama. Wujud panembahnya berupa totalitas pelaksanaan ‘menjalani hidup’ yang
benar, baik dan ‘pener’.
yaitu menjalani hidup dengan konsep:
1)
bersembah/berbakti kepada Tuhan penguasa alam dengan ‘eling’ secara
terus-menerus.
2) melakukan hubungan baik dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk melakukan berbagai ’ritual sesaji’
3) melakukan hubungan antar sesama manusia dengan berkeadaban.
2) melakukan hubungan baik dengan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk melakukan berbagai ’ritual sesaji’
3) melakukan hubungan antar sesama manusia dengan berkeadaban.
Sistim religi Jawa juga berdasarkan ’falsafah
panunggalan’, bahwa semua yang ada dan tergelar di jagad raya merupakan
’Maha Kesatuan Tunggal’ yang di-’purbawasesa’ (dikuasai, diatur,
dikendalikan) oleh Yang Maha Kuwasa. Berdasar ’panunggalan’ ini terbangun
struktur ’kawula-gusti’ sebagaimana hubungan ’pancer-mancapat’ atau ’inti-plasma’.
Maknanya, Roh Alam Semesta (Sejatining Urip, Suksma Sejati) posisinya sebagai
’gusti’ (pancer, inti), sedang seluruh ciptaan yang lain sebagai ’kawula’
(mancapat, plasma). Dalam struktur bangunan seperti ini, manusia terposisikan
sebagai ’kawula’ (mancapat, plasma) yang sama kedudukannya dengan semua ’titah
dumadi’ yang lain. Maka kewajiban sesama ’kawula’ adalah membangun ’hubungan’
yang ’rukun selaras’ (harmoni) demi menjaga eksistensi ’Panunggalan Semesta’.
Dalam piwulang Kejawen hubungan ’rukun selaras’
dinyatakan sebagai ’sedulur’ (saudara), sesama warganya Pangeran Kang Murbeng
Dumadi. Saudara-saudara tersebut dinyatakan dalam Wejangan Paseksen Wirid
Wolung Pangkat: “Yaiku wejangan jumenenge urip kita pribadi angakoni dadi
“warganing Pangeran Kang Sejati” kinen aneksekake marang sanak sedulur kita,
yaiku: bumi, langit, srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu, lan
sakabehing dumadi kang gumelar ing jagad. (Yaitu wejangan akan eksistensi
hidup sejati kita ’mengakui’ jadi warganya Pangeran Kang Sejati untuk
dipersaksikan kepada sanak saudara kita, yaitu: bumi, langit, matahari, bulan,
bintang, api, angin, air, dan seluruh ciptaan yang tergelar di jagad raya).
Berdasar konsep ’panunggalan’ dalam sistim
religi Jawa ini, maka ada kepercayaan bahwa semua yang ada di jagad memiliki ’kewajiban’
yang sama untuk ’menyangga’ panunggalan semesta. Juga ada kepercayaan bahwa
ada ’titah dumadi’ yang bersifat gaib ’hidup bersama’ dengan manusia dengan
sama-sama mengemban tugas kewajiban menjaga kehayuan semesta. Dari kepercayaan
ini kemudian lahir ’mitologi’ Jawa tentang adanya dewa, bethara,
hyang, danyang, lelembut, dlsb. Kesemuanya terposisikan sebagai ’saudara’ bagi
manusia. Meski berbeda alam, namun sama-sama menghuni jagad raya yang sama.
Maka demi hubungan ’persaudaraan’ yang baik, diajarkan kepada manusia untuk
menjalin komunikasi dengan para saudaranya yang berbeda alam tersebut. Dalam
pelaksanaan menjalani hidupnya, manusia diwajibkan untuk tidak ’mengganggu
kehidupan’ para saudaranya tersebut. Itulah sebabnya, terlahir banyak ritual
untuk berhubungan dengan para saudara
gaib tersebut. Diantaranya berupa ritual sesaji untuk urusan menanam dan memanen padi, bersih desa, membakar batu bata, menguras patirtan, dll.
gaib tersebut. Diantaranya berupa ritual sesaji untuk urusan menanam dan memanen padi, bersih desa, membakar batu bata, menguras patirtan, dll.
tonton jg youtube q buat hiburan
ReplyDeletehhehehhe