11/02/2015

Seminar seni rupa "Wayang Kulit Sebagai Media Pendidikan Karakter"



                                                                   unnes.jpg

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER PADA SISWA

Disusun guna memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah seminar seni rupa
Dosen pengampu : Drs. Tryanto

Oleh
Nama : Awit Enggal Setiawan
                                              NIM    : 2401407078
 Prodi   : Pendidikan Seni Rupa

JURUSAN SENI RUPA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012

WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER PADA SISWA
Oleh : Awit Enggal Setiawan

1.    Pendahuluan
1.1 Karakter bangsa sebagai cermin moralitas diri
Pendidikan karakter cenderung tak akan pernah tersentuh secara nyata jika ada hanya sebatas proses pemahaman tentang karakter atau hanya bersifat informasi tanpa adanya tindakan. Dewasa ini di media cetak, elektronik dan media internet banyak memberitakan tentang kasus jual beli kunci ujian, contek mencontek, plagiatisme, bahkan kasus kriminal yang dilakukan oleh pelajar, itu semua menunjukan bahwa nilai realisasi karakter bangsa tidak terwujud nyata. Fenomena ini muncul akibat rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Di samping itu anggaran pendidikan yang sudah tinggi tidak menjamin sarana fisik yang baik dan biaya pendidikan yang terjangkau, penyebabnya jelas moralitas masyarakat yang mementingkan golongan, kepetingan pribadi dan mendapat keadaan yang tepat.

       Dewasa ini, Pendidikan karakter menjadi pembicaraan yang menarik di kalangan praktisi pendidikan. Pendidikan ini dimunculkan karena adanya ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pendidikan, khususnya terhadap kualitas karakter output sekolah. Pendidikan yang sekarang dinilai gagal menciptakan manusia yang berkarakter karena terlalu fokus terhadap peningkatan pengetahuan dan terlalu menonjolkan kecerdasan berpikir. Namun lemah dalam kecerdasan budi dan batin sehingga tidak bisa berkembang menjadi bangsa yang berbudi luhur. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan moral semakin meningkat meskipun pendidikan sudah bisa dikecap oleh  semua kalangan.

       Pendidikan karakter merupakan istilah yang sebenarnya sudah klasik dalam sejarah bangsa Indonesia. Istilah yang sudah ada sejak masa kemerdekaan ini mendadak popular kembali pada akhir –akhir ini yang digalakan kembali untuk membangkitkan kembali pendidikan karakter. Pendidikan ini bertujuan untuk membentuk karakter anak didik  yang bermoral, beretika, serta berbudi luhur sekaligus  mampu untuk bersaing di kancah internasional dengan tidak melupakan kebudayaannya sendiri.

1.2 Budaya dan karakter bangsa
      Ada tiga hal yang patut dan perlu untuk dikembangkan dalam rangka membangun karakter yang berpendidikan yaitu membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif mengingat budaya itu bersifat kontinue, konvergen dan konsentris (Ki Hajar Dewantara). “membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif” artinya diperlukan sikap yang berkomitmen dan disiplin terhadap pelaksanaan pendidikan karakter itu sendiri.

     Upaya membangun karakter bangsa (siswa) sejak dini melalui jalur pendidikan dianggap sebagai langkah yang  tepat. Baru-baru ini, pendidikan karakter telah diselipkan kedalam kurikulum yang berlaku. Setiap sekolah merumuskan bagaimana konsep pendidikan karakter yang tertuang dalam kurikulum sekolah masing-masing.
Persoalannya adalah bagaimana penerapan konsep pendidikan karakter itu dilaksanakan.

      Hal penting yang mendasari pendidikan karakter di sekolah adalah budaya dan penanaman nilai karakter bangsa tidak akan berhasil melalui pemberian informasi dan doktrin belaka. Karakter bangsa yang berbudi luhur, sopan santun, ramah tamah, gotong royong, disiplin, taat aturan yang berlaku dan sebagainya, perlu adanya keteladanan dari semua pihak.

       Tentu saja cukup beraneka ragam metode pembiasaan yang diterapkan di setiap sekolah. Semua yang dilakukan oleh warga sekolah tersebut bertujuan untuk membangun karakter bangsa.

       Salah satu media pembelajaran ini sebenarnya ada dihadapan kita, yaitu wayang kulit.  Wayang kulit adalah warisan budaya nenek moyang yang mengandung pesan-pesan moral yang sangat bagus bagi kehidupan. Dalam cerita pewayangan terselip  nilai-nilai kebaikan serta nilai kepahlawanan yang sangat baik untuk dijadikan teladan dalam membelajarkan karakter pada siswa.

       Maka dari itu perlu adanya pemanfaatan wayang kulit sebagai media pembentukan karakter siswa guna menumbuhkan jiwa dan semangat diri supaya tidak lupa akan budaya sendiri yang dengan ini diharapkan dapat membangun bangsa dengan tidak mengesampingkan identitas diri.


2.    Pembahasan
2.1 Wayang kulit sebagai bagian dari seni rupa
      Dalam realitas masyarakat, pembelajaran seni rupa menjadi suatu pelajaran yang dipandang sebelah mata. Seni rupa menjadi anak tiri yang dianggap tidak penting. Atau malah dianggap sebagai perusak karakter, karena melihat banyaknya fakta bahwa orang-orang seni adalah manusia aneh (devian) yang tidak seperti manusia kebanyakan. Hal ini tentu saja tidak benar, karena seni dalam hal ini berfungsi sebagai sarana pencerdas anak bangsa.
      Seni dalam pendidikan merupakan sebuah program yang mengharapkan siswa pandai dalam bidang seni. Pandai menggambar, pintar menyanyi, terampil dalam menari, pandai memainkan alat seni dan sebagainya. Seni dalam pendidikan ini sejalan dengan konsep pendidikan yaitu sebagai proses pembudayaan yang dilakukan dengan upaya mewariskan atau menanamkan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi berikutnya yang salah satunya mengunakan wayang kulit sebagai sarana untuk membangun karakter bangsa.
     Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa.Wayang kulit adalah seni pertunjukkan asli bangsa Indonesia yang sudah ada lebih dari 1000 tahun silam. Wayang kulit sempat meraih masa kejayaannya dimasa lalu sebagai media dakwah dan hiburan. Wayang kulit mengajarkan falsafah hidup kepada masyarakat untuk menjadi manusia yang bijaksana dan beragama.

    400px-Wayang_Performance.jpg
(pagelaran wayang kulit)
      Wayang berasal dari kata 'Ma Hyang' yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa, atau Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir
      Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit lembaran, perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
      Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bront.
                               img_0172r.jpg
(pembuatan wayang kulit oleh siswa)
     Wayang adalah bayangan imajinasi dari para nenek moyang yang tercermin dari bentuk-bentuk wayang sebagaimana terciptanya wayang melalui tahap penyesuaian dengan kelakuan dan adat tingkah laku yang dibayangkan dalam angan-angan. Dalam pertunjukkan wayang tidak hanya menyajikan sebuah bentuk hiburan, namun wayang adalah falsafah hidup yang dijadikan sebagai pedoman. Wayang bukan hanya bersifat sebagai tontonan, tapi juga tuntunan.
     Dalam cerita pewayangan disajikan karakter-karakter yang beraneka ragam dengan pelbagai intrik kehidupannya, layaknya lakon Pandawa dan Kurawa dalam cerita Mahabarata. Pandawa sebagai karakter protagonist yang membela kebenaran dan berjaya sedangkan Kurawa sebagai karakter antagonis yang  jahat dan pengacau hingga akhirnya kalah dalam kebinasaan. Prinsip dasar dalam cerita wayang adalah mengajarkan kita untuk percaya kepada karma. Sebagaimana menurut filsafat orang jawa “sapa nandur ngunduh wohe kang tinandur” yang artinya siapa yang menanam benih maka ia akan menuai hasil dari tanamannya. Bila yang kita tanam adalah sebuah keburukkan maka kita akan menuai akibat dari setiap perbuatan buruk yang kita lakukan dimasa hidup, begitupun sebaliknya. Wayang mampu memberikan gambaran hidup dan penghidupan sebagai simbol filsafat hidup bagi masyarakat yang mendukungnya. Wayang juga mengajarkan cara untuk memandang dunia sebagai suatu penghayatan dalam masyarakat dan alam sebagai satu kesatuan yang tidak terpecah belah.
     Wayang tumbuh dan berkembang sebagai budaya orang jawa, yang dimaksud dengan orang jawa adalah orang-orang yang berbahasa ibu bahasa jawa dan nenek moyangnya berasal dari jawa tengah dan jawa timur. menyatakan bahwa orang jawa sangat percaya legenda berperan penting dalam mendidik , mengembangkan pikiran dan kepribadian hidup khususnya dalam diri anak muda. Wayang sebagai hasil peradaban tradisional jawa yang mengembangkan etika, moral dan filsafat yang tersaji apik dalam cerita. Wayang memberikan perasaan harga diri dan kehormatan bagi setiap manusia dan toleransi yang perlu dihormati dengan rasa yang mendalam. Kekuatan yang terdapat dalam wayang  menjadi sebuah pakem bagi para pihak yang melestarikan wayang khususnya para dalang sebagai pembawa cerita tunggal dalam pementasan wayang untuk tidak mengubah cerita yang terjadi dalam pementasan wayang kulit.
     Seiring dengan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, wayang sebaiknya melakukan inovasi untuk dapat bertahan selaras dengan perubahan zaman. Wayang perlu dipandang sebagai produk budaya yang universal bukan hanya milik golongan tertentu saja. Kepemilikkan budaya wayang dapat ditujukan sebagai budaya bangsa Indonesia, bukan hanya budaya orang jawa. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pementasan wayang kulit yang berbahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar cerita, agar wayang dapat menjangkau semua orang yang non jawa untuk dapat mengerti pesan edukatif yang ditampilkan dalam wayang.
       Menonton pementasan wayang kulit sama halnya belajar pada situasi informal,pesan moral yang disampaikan adalah ilmu-ilmu kebijaksanaan. Melihat situasi yang terjadi selama ini penonton hanya disuapi dengan pesan moral yang diceritakan oleh dalang. Layaknya sebuah proses belajar dari sudut pandang constructivism oleh Huitt(2009) Belajar adalah sebuah proses pencarian makna dengan merefleksikan pengalaman hidup dan membangun sebuah pemahaman tentang fenomena yang terjadi. Sebagai sebuah proses pembelajaran, pementasan wayang diharapkan mampu memberikan interaksi antara dalang sebagai pemain dan penonton sebagai target pembelajaran untuk membantu penonton membangun pemahaman terhadap ilmu kebijaksanaan yang disampaikan. Melalui penggunaan bahasa Indonesia dapat mempermudah dalam menyampaikan pesan moral yang tersaji dalam cerita wayang kulit. Bukanlah sebuah ketidak mungkinan jika wayang dapat disajikan dalam bahasa inggris sebagai media pengenalan budaya Indonesia agar dapat go Internasional diera globalisasi seperti sekarang, agar bangsa luar mengenal budaya kita yang luhur dari ribuan tahun yang lalu.
      Dengan tidak menghilangkan unsur hiburan dalam cerita wayang, wayang sangat diharapkan mampu menghadirkan cerita sarat makna dalam berbagai konteks yang terjadi dimasa sekarang. Dalang dapat menjadi lebih kreatif dengan mendesain cerita-cerita baru seputar isu yang terjadi dimasyarakat namun tidak meninggalkan unsur edukasi dalam cerita yang disampaikan. Seperti halnya dalam pementasan wayang golek “Cepot” karya Asep soenarya dari jawa barat yang menggunakan bahasa Indonesia dan melibatkan banyak interaksi dengan penonton kedalam cerita. Adapun seperti kesenian lenong, musik dangdut, dan musik campursari yang disampaikan dalam bahasa Indonesia. Menurut Malinowski dalam(2009) setiap unsur kebudayaan memiliki kegunaan yang cocok dalam masyarakat secara keseluruhan. Bila ada unsur yang tidak berfungsi, maka unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Tentunya unsur hiburan jangan sampai dihilangkan dalam cerita wayang sebagai daya tarik penonton untuk menonton pertunjukkan wayang kulit.

      2.2  Pembentukan karakter siswa melalui wayang
     Wayang tradisional Indonesia merupakan warisan budaya kita yang sampai saat ini diakui masyarakat internasional sebagai bagian dari budaya dunia. Sehingga, hal inilah tentunya yang menjadikan kebesaran bangsa kita dengan segala nilai kearifan lokal yang tersimpan di pewayangan untuk menjadi bangsa besar yang memiliki yang mampu menghadapi berbagai krisis moral siap menerjang. Namun perlu diakui atau tidak, di mata masyarakat Indonesia saat ini mulai mucul anggapan skiptis bahwasannya wayang merupakan budaya kuno yang ketinggalan jaman. Hal ini dapat dilihat bahwasannya pementasan wayang senantiasa sepi dari pengunjung. Sementara itu, pembelajaran akan dunia pewayangan di sekolah-sekolah hanya sebagai bersifat hapalan dan pelengkasaja.

            pandawa.jpg
(pandawa)
     Padahal, jika ditelusuri, banyak sekali nilai kearifan lokal yang dapat dipetik dari kisah pewayangan, terutama bagi generasi muda yang diterjang krisis moral. Penokohan 5 orang pandhawa dalam dunia pewayangan ternyata kaya akan nilai keteladanan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh adalah yudhistira yang memiliki karakter bijaksana, jujur, dan teguh pendirian. Sehingga dia senantiasa dijadikan dalam pemimpin perang. Kemudian Bima sebagai pandhawa paling kuat yang memiliki sifat semangat, pemberani dan pantang menyerah.Namun ketika berperang, dia memiliki kebesaran hati untuk tidak membunuh musuhnya yang dalam kondisi mengaku kalah. Dan arjuna yang memiliki sifat lemah lembut, imannya kuat dan berhati baik. Suka menolong anggota pandhwa yang lainnya ketika berperang dan dalam kesulitan terpojok oleh musuh. Nilai-nilai seperti inilah yang patut diajarkan kepada generasi muda kita, bahwasannya budaya kita dan sejarah kita memiliki segudang kearifan lokal yang patut di angkat untuk bisa membentuk karakter generasi muda yang bernilai

                                  gatotkaca.jpg
(gatotkaca)
     Disisi lain tokoh Gatot Kaca, dalam wiracarita Mahabharata,   putra Bimasena atau Werkoedara dari keluarga Pandawa dikenal sangat gagah berani dan patuh kepada orang tua. Menurut versi pewayangan jawa, Gatot Kaca merupakan keturunan dari raksasa yang memiliki keuatan luar biasa dan menjadi seorang raja pringgandani.Cerita Gatot Kaca tersebut dinilai mampu memberi inspirasi kepada peserta didik sehingga mereka dapat meniru karakter tokoh asli milik budaya masyarakat.
    Gatot Kaca adalah tokoh yang dibalik keberaniaannya memiliki sikap yang sangat patuh kepada orang tua. Keberanian itu bukan berarti anarkisme, melainkan keberanian adalah modal siswa kita menjadi sosok yang tegas dan bertanggung jawab. Berani menghadapi setiap tantangan, dan tegas dalam membuat keputusan Setelah siswa mengenal karakteristik wayang dengan segala sifat dan perilakunya, guru dituntut untuk dapat mengembangkan apresiasi anak didik dalam hal ini melalui peningkatan apresiasi mengenai wayang kulit.
   Peningkatan apresiasi terhadap wayang dapat melalui seni rupa. Dalam hal ini guru dituntut membimbing siswa dalam mendalami wayang lewat pemanfaatan media yang tersedia seperti menunjukan gambar, tayangan dan wayang kepada siswa yang selanjutnya mengarahkan siswa untuk menggambar tokoh pewayangan. Karena dengan ini diharapkan siswa dapat memiliki identitas diri sebagai bangsa Indonesia yang berkarakter. Guna mewujudkan kegiatan pembentukan karakter ini perlu adanya dukungan dari semua pihak baik dari pusat maupun daerah.

3.    Simpulan
       Wayang kulit bukan hanya sekedar tontonan atau hasil karya semata namun didalamnya terdapat nilai-nilai filosofis yang berperan nyata dalam pembentukan karakter peserta didik sehingga menjadi insan yang berbudaya.  



Daftar pustaka
Susanto, Mikke. 2002.  Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta: Kanisius.
Terpadu. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Usman,S.M .Din, I, 2010. Wayang (Kepribadian Luhur Jawa). Jakarta: Cakrawala.
Wardani, Cut Kamaril, 2004. Pendidikan Melalui Seni dalam Pendekatan Pembelajaran

TVRI.2012. Pagelaran wayang empat pilar : Semar Mbangun Kahyangan
PROtv.2012.Pagelaran wayang kulit : Gatotkaca Lahir


No comments:

Post a Comment