
WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN
KARAKTER PADA SISWA
Disusun guna memenuhi tugas ujian akhir
semester mata kuliah seminar seni rupa
Dosen pengampu : Drs. Tryanto
Oleh
Nama
: Awit Enggal Setiawan
NIM :
2401407078
Prodi : Pendidikan Seni Rupa
JURUSAN SENI RUPA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN
KARAKTER PADA SISWA
Oleh
: Awit Enggal Setiawan
1.
Pendahuluan
1.1 Karakter bangsa sebagai
cermin moralitas diri
Pendidikan karakter cenderung tak akan pernah tersentuh
secara nyata jika ada hanya sebatas proses
pemahaman tentang karakter atau hanya bersifat informasi tanpa adanya tindakan.
Dewasa ini di media cetak, elektronik dan media internet banyak memberitakan
tentang kasus jual beli kunci ujian, contek mencontek, plagiatisme, bahkan
kasus kriminal yang dilakukan oleh pelajar, itu semua menunjukan bahwa nilai
realisasi karakter bangsa tidak terwujud nyata. Fenomena ini muncul akibat
rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia. Di samping
itu anggaran pendidikan yang sudah tinggi tidak menjamin sarana fisik yang baik
dan biaya pendidikan yang terjangkau, penyebabnya jelas moralitas masyarakat
yang mementingkan golongan, kepetingan pribadi dan mendapat keadaan yang tepat.
Dewasa ini, Pendidikan karakter menjadi
pembicaraan yang menarik di kalangan praktisi pendidikan. Pendidikan ini
dimunculkan karena adanya ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pendidikan,
khususnya terhadap kualitas karakter output
sekolah. Pendidikan yang sekarang dinilai gagal menciptakan manusia yang
berkarakter karena terlalu fokus terhadap peningkatan pengetahuan dan terlalu
menonjolkan kecerdasan berpikir. Namun lemah dalam kecerdasan budi dan batin
sehingga tidak bisa berkembang menjadi bangsa yang berbudi luhur. Hal inilah
yang menyebabkan kerusakan moral semakin meningkat meskipun pendidikan sudah
bisa dikecap oleh semua kalangan.
Pendidikan karakter merupakan istilah
yang sebenarnya sudah klasik dalam sejarah bangsa Indonesia. Istilah yang sudah
ada sejak masa kemerdekaan ini mendadak popular kembali pada akhir –akhir ini
yang digalakan kembali untuk membangkitkan kembali pendidikan karakter.
Pendidikan ini bertujuan untuk membentuk karakter anak didik yang
bermoral, beretika, serta berbudi luhur sekaligus mampu untuk bersaing di
kancah internasional dengan tidak melupakan kebudayaannya sendiri.
1.2 Budaya dan karakter
bangsa
Ada tiga hal yang patut dan perlu untuk dikembangkan dalam rangka membangun karakter yang berpendidikan yaitu membangun
budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang semakin kompetitif
mengingat budaya itu bersifat kontinue, konvergen dan konsentris (Ki Hajar
Dewantara). “membangun budaya agar siswa selalu siap dengan perubahan yang
semakin kompetitif” artinya diperlukan sikap yang berkomitmen dan disiplin
terhadap pelaksanaan pendidikan karakter itu sendiri.
Upaya membangun karakter bangsa (siswa) sejak dini melalui jalur
pendidikan dianggap sebagai langkah yang tepat. Baru-baru ini, pendidikan karakter telah diselipkan
kedalam kurikulum yang berlaku. Setiap sekolah merumuskan bagaimana konsep pendidikan karakter yang
tertuang dalam kurikulum sekolah masing-masing.
Persoalannya
adalah bagaimana penerapan konsep
pendidikan karakter itu dilaksanakan.
Hal penting yang mendasari pendidikan
karakter di sekolah adalah
budaya dan penanaman nilai karakter bangsa tidak akan berhasil melalui pemberian informasi dan doktrin belaka. Karakter bangsa yang
berbudi luhur, sopan santun, ramah tamah, gotong royong, disiplin, taat aturan
yang berlaku dan sebagainya, perlu adanya keteladanan dari semua pihak.
Tentu saja cukup beraneka ragam metode
pembiasaan yang diterapkan di setiap sekolah. Semua yang dilakukan oleh
warga sekolah tersebut bertujuan untuk membangun karakter bangsa.
Salah satu media pembelajaran ini
sebenarnya ada dihadapan kita, yaitu wayang kulit. Wayang kulit adalah
warisan budaya nenek moyang yang mengandung pesan-pesan moral yang sangat bagus
bagi kehidupan. Dalam cerita pewayangan terselip nilai-nilai kebaikan
serta nilai kepahlawanan yang sangat baik untuk dijadikan teladan dalam
membelajarkan karakter pada siswa.
Maka dari itu perlu adanya pemanfaatan
wayang kulit sebagai media pembentukan karakter siswa guna menumbuhkan jiwa dan
semangat diri supaya tidak lupa akan budaya sendiri yang dengan ini diharapkan
dapat membangun bangsa dengan tidak mengesampingkan identitas diri.
2.
Pembahasan
2.1 Wayang kulit sebagai bagian dari seni rupa
Dalam realitas masyarakat, pembelajaran
seni rupa menjadi suatu pelajaran yang dipandang sebelah mata. Seni rupa
menjadi anak tiri yang dianggap tidak penting. Atau malah dianggap sebagai
perusak karakter, karena melihat banyaknya fakta bahwa orang-orang seni adalah
manusia aneh (devian) yang tidak seperti manusia kebanyakan. Hal ini tentu saja
tidak benar, karena seni dalam hal ini berfungsi sebagai sarana pencerdas anak
bangsa.
Seni dalam
pendidikan merupakan sebuah program yang mengharapkan siswa pandai
dalam bidang seni. Pandai menggambar, pintar menyanyi, terampil dalam menari,
pandai memainkan alat seni dan sebagainya. Seni dalam pendidikan ini sejalan
dengan konsep pendidikan yaitu sebagai proses pembudayaan yang dilakukan dengan
upaya mewariskan atau menanamkan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi
berikutnya yang salah
satunya mengunakan wayang kulit sebagai sarana untuk membangun karakter bangsa.
Wayang kulit
adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Jawa.Wayang kulit adalah seni
pertunjukkan asli bangsa Indonesia yang sudah ada lebih dari 1000 tahun silam.
Wayang kulit sempat meraih masa kejayaannya dimasa lalu sebagai media dakwah
dan hiburan. Wayang kulit mengajarkan falsafah hidup kepada masyarakat untuk
menjadi manusia yang bijaksana dan beragama.

(pagelaran wayang kulit)
Wayang
berasal dari kata 'Ma Hyang'
yang artinya menuju kepada roh spiritual, dewa,
atau Tuhan
Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wayang adalah istilah bahasa Jawa yang
bermakna 'bayangan', hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menonton
wayang dari belakang kelir atau hanya bayangannya saja. Wayang kulit dimainkan
oleh seorang dalang
yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik
gamelan
yang dimainkan sekelompok nayaga dan
tembang
yang dinyanyikan oleh para pesinden.
Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir,
yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan
lampu listrik atau lampu minyak (blencong),
sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat
bayangan wayang yang jatuh ke kelir
Wayang kulit
dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses menjadi kulit lembaran,
perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran yang
kemudian dipahat dengan peralatan yang digunakan adalah besi berujung runcing
berbahan dari baja yang berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu
dalam berbagai bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan
bentuk lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.
Namun pada
dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja
dibuat hingga berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh
seperti tangan, pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku,
cara menyambungnya dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau
sapi. Tangkai yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna
kehitaman juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya
umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa
juga dengan dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan
prada, hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan
dengan yang bront.

(pembuatan wayang kulit
oleh siswa)
Wayang adalah bayangan imajinasi dari para
nenek moyang yang tercermin dari bentuk-bentuk wayang sebagaimana terciptanya
wayang melalui tahap penyesuaian dengan kelakuan dan adat tingkah laku yang
dibayangkan dalam angan-angan. Dalam pertunjukkan wayang tidak hanya menyajikan
sebuah bentuk hiburan, namun wayang adalah falsafah hidup yang dijadikan
sebagai pedoman. Wayang bukan hanya bersifat sebagai tontonan, tapi juga
tuntunan.
Dalam cerita pewayangan disajikan
karakter-karakter yang beraneka ragam dengan pelbagai intrik kehidupannya,
layaknya lakon Pandawa dan Kurawa dalam cerita Mahabarata. Pandawa sebagai
karakter protagonist yang membela kebenaran dan berjaya sedangkan Kurawa
sebagai karakter antagonis yang jahat
dan pengacau hingga akhirnya kalah dalam kebinasaan. Prinsip dasar dalam cerita
wayang adalah mengajarkan kita untuk percaya kepada karma. Sebagaimana menurut
filsafat orang jawa “sapa nandur ngunduh
wohe kang tinandur” yang artinya siapa yang menanam benih maka ia akan
menuai hasil dari tanamannya. Bila yang kita tanam adalah sebuah keburukkan
maka kita akan menuai akibat dari setiap perbuatan buruk yang kita lakukan
dimasa hidup, begitupun sebaliknya. Wayang mampu memberikan gambaran hidup dan
penghidupan sebagai simbol filsafat hidup bagi masyarakat yang mendukungnya.
Wayang juga mengajarkan cara untuk memandang dunia sebagai suatu penghayatan
dalam masyarakat dan alam sebagai satu kesatuan yang tidak terpecah belah.
Wayang tumbuh dan berkembang sebagai
budaya orang jawa, yang dimaksud dengan orang jawa adalah orang-orang yang
berbahasa ibu bahasa jawa dan nenek moyangnya berasal dari jawa tengah dan jawa
timur. menyatakan bahwa orang jawa sangat percaya legenda berperan penting
dalam mendidik , mengembangkan pikiran dan kepribadian hidup khususnya dalam
diri anak muda. Wayang sebagai hasil peradaban tradisional jawa yang
mengembangkan etika, moral dan filsafat yang tersaji apik dalam cerita. Wayang
memberikan perasaan harga diri dan kehormatan bagi setiap manusia dan toleransi
yang perlu dihormati dengan rasa yang mendalam. Kekuatan yang terdapat dalam
wayang menjadi sebuah pakem bagi para
pihak yang melestarikan wayang khususnya para dalang sebagai pembawa cerita
tunggal dalam pementasan wayang untuk tidak mengubah cerita yang terjadi dalam
pementasan wayang kulit.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat, wayang sebaiknya melakukan inovasi untuk dapat
bertahan selaras dengan perubahan zaman. Wayang perlu dipandang sebagai produk
budaya yang universal bukan hanya milik golongan tertentu saja. Kepemilikkan
budaya wayang dapat ditujukan sebagai budaya bangsa Indonesia, bukan hanya
budaya orang jawa. Hal ini dapat ditunjukkan dengan pementasan wayang kulit
yang berbahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar cerita, agar wayang dapat
menjangkau semua orang yang non jawa untuk dapat mengerti pesan edukatif yang
ditampilkan dalam wayang.
Menonton pementasan wayang kulit sama
halnya belajar pada situasi informal,pesan moral yang disampaikan adalah ilmu-ilmu
kebijaksanaan. Melihat situasi yang terjadi selama ini penonton hanya disuapi
dengan pesan moral yang diceritakan oleh dalang. Layaknya sebuah proses belajar
dari sudut pandang constructivism
oleh Huitt(2009) Belajar adalah sebuah proses pencarian makna dengan
merefleksikan pengalaman hidup dan membangun sebuah pemahaman tentang fenomena
yang terjadi. Sebagai sebuah proses pembelajaran, pementasan wayang diharapkan
mampu memberikan interaksi antara dalang sebagai pemain dan penonton sebagai
target pembelajaran untuk membantu penonton membangun pemahaman terhadap ilmu
kebijaksanaan yang disampaikan. Melalui penggunaan bahasa Indonesia dapat
mempermudah dalam menyampaikan pesan moral yang tersaji dalam cerita wayang
kulit. Bukanlah sebuah ketidak mungkinan jika wayang dapat disajikan dalam
bahasa inggris sebagai media pengenalan budaya Indonesia agar dapat go Internasional diera globalisasi
seperti sekarang, agar bangsa luar mengenal budaya kita yang luhur dari ribuan
tahun yang lalu.
Dengan tidak menghilangkan unsur hiburan
dalam cerita wayang, wayang sangat diharapkan mampu menghadirkan cerita sarat
makna dalam berbagai konteks yang terjadi dimasa sekarang. Dalang dapat menjadi
lebih kreatif dengan mendesain cerita-cerita baru seputar isu yang terjadi
dimasyarakat namun tidak meninggalkan unsur edukasi dalam cerita yang
disampaikan. Seperti halnya dalam pementasan wayang golek “Cepot” karya Asep
soenarya dari jawa barat yang menggunakan bahasa Indonesia dan melibatkan
banyak interaksi dengan penonton kedalam cerita. Adapun seperti kesenian
lenong, musik dangdut, dan musik campursari yang disampaikan dalam bahasa
Indonesia. Menurut Malinowski dalam(2009) setiap unsur kebudayaan memiliki
kegunaan yang cocok dalam masyarakat secara keseluruhan. Bila ada unsur yang
tidak berfungsi, maka unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Tentunya
unsur hiburan jangan sampai dihilangkan dalam cerita wayang sebagai daya tarik
penonton untuk menonton pertunjukkan wayang kulit.
2.2 Pembentukan karakter siswa
melalui wayang
Wayang
tradisional Indonesia merupakan warisan budaya kita yang sampai saat ini diakui
masyarakat internasional sebagai bagian dari budaya dunia. Sehingga, hal inilah
tentunya yang menjadikan kebesaran bangsa kita dengan segala nilai kearifan
lokal yang tersimpan di pewayangan untuk menjadi bangsa besar yang memiliki
yang mampu menghadapi berbagai krisis moral siap menerjang. Namun perlu diakui
atau tidak, di mata masyarakat Indonesia saat ini mulai mucul anggapan skiptis
bahwasannya wayang merupakan budaya kuno yang ketinggalan jaman. Hal ini dapat
dilihat bahwasannya pementasan wayang senantiasa sepi dari pengunjung.
Sementara itu, pembelajaran akan dunia pewayangan di sekolah-sekolah hanya
sebagai bersifat hapalan dan pelengkasaja.

(pandawa)
Padahal, jika
ditelusuri, banyak sekali nilai kearifan lokal yang dapat dipetik dari kisah
pewayangan, terutama bagi generasi muda yang diterjang krisis moral. Penokohan
5 orang pandhawa dalam dunia pewayangan ternyata kaya akan nilai keteladanan
yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh adalah
yudhistira yang memiliki karakter bijaksana, jujur, dan teguh pendirian.
Sehingga dia senantiasa dijadikan dalam pemimpin perang. Kemudian Bima sebagai
pandhawa paling kuat yang memiliki sifat semangat, pemberani dan pantang
menyerah.Namun ketika berperang, dia memiliki kebesaran hati untuk tidak
membunuh musuhnya yang dalam kondisi mengaku kalah. Dan arjuna yang memiliki
sifat lemah lembut, imannya kuat dan berhati baik. Suka menolong anggota
pandhwa yang lainnya ketika berperang dan dalam kesulitan terpojok oleh musuh.
Nilai-nilai seperti inilah yang patut diajarkan kepada generasi muda kita,
bahwasannya budaya kita dan sejarah kita memiliki segudang kearifan lokal yang
patut di angkat untuk bisa membentuk karakter generasi muda yang bernilai

(gatotkaca)
Disisi lain
tokoh Gatot Kaca, dalam wiracarita Mahabharata, putra Bimasena atau
Werkoedara dari keluarga Pandawa dikenal sangat gagah berani dan patuh kepada orang tua. Menurut versi
pewayangan jawa, Gatot Kaca merupakan keturunan dari raksasa yang memiliki
keuatan luar biasa dan menjadi seorang raja pringgandani.Cerita Gatot Kaca
tersebut dinilai mampu memberi inspirasi kepada peserta didik sehingga mereka
dapat meniru karakter tokoh asli milik budaya masyarakat.
Gatot Kaca adalah
tokoh yang dibalik keberaniaannya memiliki sikap yang sangat patuh kepada orang
tua. Keberanian itu bukan berarti anarkisme, melainkan keberanian adalah modal
siswa kita menjadi sosok yang tegas dan bertanggung jawab. Berani menghadapi
setiap tantangan, dan tegas dalam membuat keputusan Setelah siswa mengenal
karakteristik wayang dengan segala sifat dan perilakunya, guru dituntut untuk
dapat mengembangkan apresiasi anak didik dalam hal ini melalui peningkatan
apresiasi mengenai wayang kulit.
Peningkatan apresiasi terhadap wayang dapat
melalui seni rupa. Dalam hal ini guru dituntut membimbing siswa dalam mendalami
wayang lewat pemanfaatan media yang tersedia seperti menunjukan gambar,
tayangan dan wayang kepada siswa yang selanjutnya mengarahkan siswa untuk
menggambar tokoh pewayangan. Karena dengan ini diharapkan siswa dapat memiliki
identitas diri sebagai bangsa Indonesia yang berkarakter. Guna mewujudkan
kegiatan pembentukan karakter ini perlu adanya dukungan dari semua pihak baik
dari pusat maupun daerah.
3.
Simpulan
Wayang kulit bukan hanya sekedar
tontonan atau hasil karya semata namun didalamnya terdapat nilai-nilai
filosofis yang berperan nyata dalam pembentukan karakter peserta didik sehingga
menjadi insan yang berbudaya.
Daftar pustaka
Susanto, Mikke. 2002. Diksi
Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta: Kanisius.
Terpadu. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta
Usman,S.M
.Din, I, 2010. Wayang (Kepribadian Luhur
Jawa). Jakarta: Cakrawala.
Wardani, Cut Kamaril, 2004. Pendidikan
Melalui Seni dalam Pendekatan Pembelajaran
TVRI.2012.
Pagelaran wayang empat pilar : Semar Mbangun Kahyangan
PROtv.2012.Pagelaran
wayang kulit : Gatotkaca Lahir
No comments:
Post a Comment