11/02/2015

Makalah Apresiasi Puisi "




MAKALAH PUISI
Untuk Memenuhi Mata Kuliah Apresiasi Puisi

Dosen Pengampu :



Oleh :
Dwi Putra W. S. A. P
2101411102


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat -Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas untuk memenuhi mata kuliah Apresiasi Puisi.
Dimana dalam makalah ini terdapat tiga bab yang disusun secara sistematis. Bab satu diuraikan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan. Bab dua yang berisi penjelasan. Dan pada bab tiga berisi penutupan yang akan menguraiakan simpulan dan saran.
Makalah masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun demi kemajuan penulisan. Namun begitu kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.




Semarang, 23 Juni 2012



Penulis





DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................

KATA PENGANTAR .................................................................................
DAFTAR ISI ...............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................
A.    Latar Belakang .................................................................................
B.     Rumusan Masalah ............................................................................
C.     Tujuan Penulisan .............................................................................

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................
A.    Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi ...................................................
B.     Strata Norma Roman Ingarden ........................................................
C.     Semiotika ………………………………………………………….
D.    Semiotika Rifaterre ..........................................................................
E.     Ulasan Teori dan penerapan contoh puisi ........................................

BAB III PENUTUP .....................................................................................
A.    Simpulan  .........................................................................................
B.     Saran ................................................................................................

DARTAR PUSTAKA .................................................................................












BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah puisi berasal dari kata poezie (B. Belanda), sedangkan sajak dari kata gedicht (B. Belanda). Dalam bahasa Inggris ada istilah poetry sebagai istilah jenis sastra puisi, dan poem sebagai individunya. Dengan demikian, istilah puisi mengacu pada jenis sastra (genre) atau poetry yang berpasangan dengan istilah prosa, sedangkan istilah sajak Sekarang kita batasi definisi puisi. Sering terjadi kesalahpahaman ketika mendefinisikan puisi. Karya sastra puisi sering disebut karangan terikat. Kesalahpahaman tersebut terjadi akibat mendefinisikan puisi membandingkan dengan batasan prosa dan masih mengacu kepada contoh puisi-puisi lama.Berbicara puisi maka tidak dapat lepas dari bahasa, dan berbicara pemaknaan puisi (sastra) tidak dapat lepas dari pembaca. Puisi atau karya sastra pada satu sisi adalah a dialectic between text and reader (Riffattere, 1978), dan pada sisi yang lain merupakan dialektika antara tataran mimetik dan semiotik. Puisi, dengan karakteristik yang dimiliki, menggunakan bahasa sehari-hari, tapi bukan bahasa sehari-hari. Puisi mengungkapkan sesuatu, tetapi dengan sesuatu yang lain. Oleh karena itu, dalam tataran semiotika, teks-teks yang hadir dalam puisi dinilai sebagai sebuah tanda yang harus digali lebih dalam maknanya. Makna tentu bukanlah tanda itu, tetapi sesuatu yang dibaliknya. Meminjam istilahnya Saussure ada signifie dan significant, ada penanda dan ada petanda. Dengan demikian, membaca (memaknai) puisi, seperti halnya membaca karya sastra yang lain, perlu memperhatikan karakter dari puisi tersebut serta memperhatikan ‘langkah kerja’ yang mesti dilalui. Dengan memperhatikan hal tersebutlah kita akan dapat sampai pada tujuan utamanya, yaitu menemukan pusat makna, menemukan dasar makna yang utama, hipogram.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan ketidaklangsungan ekspresi puisi?
2.      Apa dan bagaimana teori strata norma Roman Ingarden?
3.      Apa yang dimaksud dengan semiotika?
4.      Apa yang dimaksud dengan semiotika Riffaterre?
C.    Tujuan
1.         Menjelaskan apa yang dimaksud dengan ketidaklangsungan ekspresi puisi
2.         Menjelaskan bagaimana teori strata norma Roman Ingarden
3.         Menjelaskan apa arti semiotika itu sendiri,
4.         Menjelaskan apa yang dimaksud dengan semiotika Riffaterre





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan bahasa kias. Bahasa kias mencakup semua jenis ungkapan yang memiliki makna lain dengan makna harfiahnya. Bahasa kias bisa berupa kata, frasa, ataupun satuan sintaksis yang lebih luas. Sesuai dengan hakekat puisi sebagai pemusatan dan pemadatan ekspresi, bahasa kias dalam puisi berfungsi sebagai saraba pengedepanan suatu yang berdimensi jamak dalam bentuk yang sesingkat-singkatnya. Disamping itu, sebagai akibat bentuknya yang singkat, bahasa kias juga berfungsi membangkitkan tanggapan pembaca. Fungsi bahasa kias adalah untuk mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik dan hidup (Pradopo, 1999: 62). Bahasa kias dalam puisi dikelompokan menjadi tiga kelompok, yakni kelompok perbandingan (metafora dan simile), penggantian (metonimi dan sinekdoki), dan pemanusiaan (personifikasi). Kesemua bahasa kias tersebut memiliki sifat yang umum, yaitu bahasa-bahasa kias tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkannya dengan yang lain ( Altenbern dalam Pradopo, 1999 : 62 )

Metafora adalah bahasa kias yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain tanpa kata pembanding, misalnya Bumi ini perempuan jalang. Simile adalah bahasa kias yang membandingkan suatu hal dengan hal lain disertai dengan kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya, misalnya serupa dara dibalik tirai (Pradopo, 1999: 62).

           Metonimi adalah bahasa kias berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Contoh klakson dan lonceng bunyi bergiliran. Kata klakson dan kata lonceng dapat menggantkan orang-orang atau partai-partai yang bersaing adu keras suaranya (Pradopo, 1999: 78).
Sinekdok adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda (hal) itu sendiri (Altenbern dalam Pradopo, 1999: 78). Sinekdoki ada dua macam, yaitu:
1.      pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan),
2.       totum pro parte (keseluruhan untuk sebagian).
Contoh: kujelajahi bumi dan alis kekasih. Kata bumi merupakan totum pro parte, dan kata kekasih merupakan pars pro toto.

            Personifikasi adalah bahasa kias yang menyamakan sesuatu (benda) dengan manusia, benda-benda mati dibuat seolah-olah dapat berfikir, berbuat dan sebagainya layaknya manusia (Sayuti, 2002: 68). Contoh: ombak bernyanyi, burung-burung tertawa riang.
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1999: 213) penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal yakni ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas adalah penafsiran bermacam-macam arti atau makna terhadap suatu ungkapan atau kata. Kontradiksi adalah salah satu car men yampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikannya (Pradopo, 1999:215). Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti atau kata-kata yang merupakan ciptaan penyair sendiri, contoh potapa potitu potkaukah potaku (Pradopo, 1999: 219).
Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Sajak (rima) adalah persamaan bunyi akhir kata. Bunyi ini berulang secara terpola dan biasanya terdapat di akhir baris saja, tetapi kadang-kadang terletak di awal atau di tengah baris. Enjambemen adalah kata atau frasa atau baris puisi yang berfungsi ganda yakni menghubungkan bagian yang mendahului dengan bagian yang mengikutinya. Artinya, sebuah kelompok kata dipenggal, dan penggalannya dipindah ke baris berikutnya. Tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang berupa tata hubungan dan tata baris. Tipografi kadang disebut sebagai susunan baris puisi dan ada pula yang menyebutnya sebagai ukiran bentuk. Tipografi dalam puisi dipergunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya indah dipandang oleh pembaca.


1.      Penggantian Arti
Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimia (Riffaterre:1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya). Misalnya dalam sajak Chairil ini (1959:19).

SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah....

Di hitam matamu kembang mawar dan melati : mawar dan melati adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain : sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi, dalam mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang menggairahkan dan murni  seperti keindahan bunga mawar
Dalam bait kedua baris pertama. “sepi menyanyi” adalah personifikasi, dalam keadaan yang mesra itu tiba-tiba terasa sepi : “sepilah yang menyanyi” karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Pada baris ke-3 dan baris ke-4, “Dan dalam dadaku memerdu lagu/menarik menari seluruh aku”. Kata lagu dan menari itu mengiaskan kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya yang menggairahkan, yang bersandar tari warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat mengenangkan.
Dalam bait ketiga baris pertama : “hidup dari hidupku, pintu terbuka”, mengiaskan bahwa ada jalan, ada harapan-harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya yang dikiaskan sebagai “Selama matamu bagiku menengadah”. Kalau kekasih masih mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya. “Selama kau darah mengalir dari luka” ini berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa sakit dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah: tidak bercerai.

2.      Penciptaan Arti
Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (dalam karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini merupakan pengorganisasian teks di luar linguistik. Termasuk di dalam penciptaan arti ini adalah pembaitan, enjambement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues. Pembaitan adalah pengaturan bait-bait; Enjambement bermakna pemenggalan kata-kata pada baris yang berbeda; Rima dimaksudkan sebagai pengaturan bunyi pada akhir baris; Tipografi berarti penyusunan baris-baris dalam keseluruhan sajak; Homologues adalah bentuk kata yang sama pada baris-baris yang sejajar (misalnya pada pantun). Terjadi penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjabement, atau ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi dalam bait (honologues). Seperti sajak dibawah ini.
KEHARUAN
Aku tak terharu lagi
Sejak bapak tak menciumku di ubun
Aku tak terharu lagi
Sejak perselisihan tak selesai dengan ampun

Keharuan menawan
Ketika Bung Karno bersama rakyat
                                  Teriak “Merdeka” 17 kali

Keharuan menawan
Ketika pasukan gerilya masuk Jokja
                                  Sudah kita rebut kembali

Aku rindu keharuan
Waktu hujan membasahi bumi
                                  Sehabis kering sebulan

Aku rindu keharuan
Waktu bendera dwiwarna
                                  Berkibar di taman pahlawan

Aku ingin terharu
Melihat garis lengkung bertemu di ujung
Aku ingin terharu
Melihat dua tangan damai berhubung

Kita manusia perasa yang lekas terharu

Sajak Subagio itu penuh dengan keseimbangan (simitri), bait dalam hal rima akhirnya, baris-baris dalam baitnya, maupun antara bait yang satu dengan yang lain. Baris-baris dan bait itu merupakan paralelisme yang tersusun rapi, bahkan juga tipografinya dibuat seimbang. Kaena sejajar, timbul makna baru seperti bait pertama “mencium di ubun” sejajar dengan “selesai dengan ampun”, makna “mencium di ubun” itu selain bermakna kasih sayang juga bermakna maaf atau ampun. Pada bait kedua dari bait terakhir ada persejajaran yang menciptakan arti baru “melihat garis lengkung bertemu di ujung” menjadi bermakna baru karena disejajarkan dengan “melihat dua tangan damai berhubung”. Baris yang kedua ini tak akan mempunyai makna ‘perdamaian” bila tak disejajarkan  dengan baris yang keempat.

3.      Penyimpangan Arti
Dikemukakan oleh Riffeterre (1978:2) penyimpangan arti terjadi apabila dalam sajak ada :
a.       Ambiguitas
Dalam puisi kata-kata, frase, kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu.
b.      Kontradiksi
Dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan.
c.       Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab terdapat dalam kosakata, hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, di dalam karya sastra, nonsense itu tetap bermakna dalam arti memiliki makna berdasarkan konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Digunakan kata-kata yang bernonsense itu ditujukan untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, berhubungan dengan dunia mistik, bisa juga disebut puisi sufistik.misalnya penggabungan dua kata atau lebih (sepisaupi, sepisaupa).




B.     STRATA NORMA ROMAN INGARDEN
Ingarden memegang filosofi yaitu ontologi.Ontologi adalah disiplin otonom di mana kita menemukan dan membangun hubungan yang diperlukan antara kualitas yang ideal murni dengan analisis intuitif dari isi ide-ide.Ini adalah persiapan yang sangat diperlukan untuk metafisika, yang bertujuan untuk menjelaskan kebenaran teori pengetahuan, filsafat manusia, filsafat alam dan sebagainya.
Dalam epistemologi Ingarden membedakan: (1) teori pengetahuan murni, yang sebenarnya merupakan bagian dari ontologi, karena ia menjelaskan sebagai analisis apriori dari "pengetahuan" ide umum; (2) criteriology, yaitu penelitian nilai-nilai epistemik seperti objektivitas dan kecukupan, dan (3) kritik pengetahuan, yang mengevaluasi hasil faktual yang diperoleh dari kognisi ilmiah dan filosofis .
Karena kurangnya informasi yang kita ketahui tentang siapa itu Roman Ingarden dan apa saja yang dapat kita pelajari tentang ajaran-ajarannya maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang seluk beluk Roman Ingarden beserta aliran dan karya-karyanya.
            Ingarden mengembangkan skema multi-dimensi ontologi kategori dengan membagi menjadi tiga bagian: formal, material dan ontologi eksistensial, sesuai dengan tiga aspek yang berbeda yang dapat dilihat dalam setiap entitas (yang secara formal struktur, sifat materi, dan mode menjadi masing-masing). Ingarden membedakan kategori materi, dengan tingkat tinggi jenis bahan termasuk, misalnya, karya seni dan benda-benda nyata (spatio-temporal). 
Ingarden membedakan empat momen eksistensial yang berbeda dari ketergantungan :
2.1.1        Kontingensi (ketergantungan dari sebuah entitas yang terpisah yang lain agar tetap ada);
2.1.2        derivasi (ketergantungan dari suatu entitas yang lain dalam rangka untuk datang menjadi ada);
2.1.3        inseparateness(ketergantungan dari suatu entitas yang hanya bisa ada jika berdampingan dengan sesuatu yang lain dalam satu kesatuan), dan heteronomi (ketergantungan dari suatu entitas untuk yang keberadaan dan abadi di seluruh kualitatif) lain.
Strata Norma Roman Ingarden
Puisi(sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian- bagian serta jalinannya secara nyata. Roman Ingarden membagi elemen-elemen puisi menjadi dua lapis norma yaitu lapis “dunia” yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung dalamnya (implied). Sebuah peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan “terdengar” atau “terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya suara jederan pintu, dapat memperlihatkan aspek “luar” atau “dalam” watak.
Lapis metafisis, berupa sifat- sifat metafisis (yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat- sifat ini seni dapat memberikan renungan atau kontenplasi (kepada pembaca).Akan tetapi, tidak setiap karya sastra dalamnya terdapat lapis metafisis seperti itu.
Untuk lebih menjelaskan analisis strata norma tersebut dianalisis sajak Chairil Anwar (1959: 44) sebagai berikut:
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.
                                
Perahu melancar, bulan memancar,
Dileher ku kalungkan ole-ole buat si pacar,
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“tujukan perahu ke pangkuanku saja”.

Amboi !jalan sudah bertahun ku tempuh !
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

Lapis Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara : suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konfensi bahasa tertentu, disini bahasa Indonesia. Hanya saja, dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah di tujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa “ atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni.
Lapis Arti (Units of Meaning )
Satuan terkecil berupa fonem.Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompokmkata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
Dalam bait pertama, “cintaku jauh di pulau” berarti : kekasihku berada di pulau yang jauh. “gadis manis, sekarang iseng sendiri” : kekasihku si aku maaih gadis dan manis. Karena si aku tidak ada, ia berbuat iseng menghabiskan waktu sendirian. Dapat juga berarti bahwa si gadis dengan sangat menantikan si aku. Dalam bait kedua: untuk menuu kekasihnya itu si aku naik perahu dengan lancar pada waktu terang bulan dan ia membawa buah tangan untuk pacarnya (ole-ole. Anginpun membantu (angin buritan), laut terang: tidak berkabut. Meskipun demikian si aku tidak akan sampai pada pacarnya.Bait ketiga: di air laut yang terang dan di angin yan bertiup kencang itu,menurut perasaannya secara sepenuhnya (di perasaan penghabisan) semuanya serba cepat, laju tanpa halangan (baris ke 1,2), namun ajal (kematian) telah memberi isyarat akan mengakhiri hidup si aku.Bait ke empat menunjukkan bahwa si aku putus asa. Meskipun ia sudah bertahun-tahun berlayar sehingga perahu yang di naiki akan rapuh terkena air garam. (baris ke 1,2), namun kematian telah menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia sempat bertemu, bercintaan dengan kekasihnya.Bait ke lima karena itu, kekasih si aku yang berada di pulau yang jauh itu akan sia-sia menanti si aku dan mati menghabiskan waktu sendiri.
Sesungguhnya sajak itu berupa kiasan. Pacar si aku, gadis manis itu, adalah kiasan cita-cita si aku yang menarik, tetapi sukar dicapai, harus melalui laut yang melambangkan perjuangan yang penuh rintangan, bahkan menentang maut. Karena itu, sebelum si aku mencapai cita-citanya, ia telah meninggal.
Lapis Ketiga
Lapis satuan arti menimbulkan lapis ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang,
Objek-objek yang dikemukakan: cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal.
Pelaku atau tokoh: si aku. Latar waktu: waktu malam terang bulan. Latar tempat: laut yang terang (tidak berkabut), berangin yang kencang (angin buritan).
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang.Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
Gadis manis, kekasih si aku berada sendirian di sebuah pulau yang jauh. Si aku ingin menemuinya, ia naik perahu dengan laju pada waktu malam terang bulan. Laut tak berkabut, angin buritan meniup dengan kencang. Akan tetapi, dalam keadaan serba lancar itu, si aku merasa bahwa ia tidak akan sampai pada kekasihnya karena maut yang lebih dulu menghadang. Bahkan setelah bertahun-tahun berlayar hingga perahu yang dinaiki pun akan rapuh (rusak) kena air laut bertahun-tahun. Karena itu, kalau si aku tidak sampai ke tempat kekasihnya karena sudah meninggal sebelum sampai, maka gadis kekasihnya akan mati sia-sia menghabis-habiskan waktu sendirian.
Lapis Keempat
Lapis “dunia” yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak sebagai berikut:
Dipandang dari susut pandang tertentu kekasih si aku itu menarik, kelihatan dari kata-kata: gadis manis (bait pertama). Pada bait kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan suasana yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang terang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisahan si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia.
Bait ketiga, baris ke-1, 2 menyatakan segalanya berjalan dengan baik, perahu berlayar dengan laju. Baris ke-3, 4 menyatakan si aku telah dihadang kematiannya.
Bait keempat dan kelima menyatakan kegagalan si aku untuk mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun segala daya upaya telah dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan perahu pun hampir hancur: kan merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya (gadisnya) si aku sudah mati.
Lapis Kelima
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini lapis itu berupa ketragisan hidup manusia; yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan, disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar, tetapi (seringkali) manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya (yang dicita-citakannya) karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.
Analisis strata norma Roman Ingarden itu dapat dikatakan hanya analisis puisi secara formal saja, menganalisis fenomena-fenomena saja. Roman Ingarden tidak mengemukakan nilai seni puisi yang dianalaisis.Dengan hal yang demikian ini, analisis Roman Ingarden ini dikritik Renne Wellek (1968:156) bahwa analisisnya yang maju itu menjadi berkurang nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian.Hal ini disebabkan bahwa puisi itu merupakan karya imajinatif bermedium bahasa yang unsur seni (estetik)-nya dominan (Wellek, 1968: 25).Orang tak dapat memahami dan menganalisis karya seni tanpa menunjukkan penilaian.Analisis yang tanpa menghubungkan dengan penilaian ini merupakan kesalahan analisis fenomenologis, begitu kata Wellek (1968: 156).
Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada.Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Namun, analisis yang hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra (T.S. Eliot via Sanson, 1960: 155). Karena itu, analisis strata norma harus ditingkatkan ke analisis semiotik, karya sastra sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur) karya sastra itu mempunyai makna (arti).Di samping itu, juga analisis ditingkatkan kepada fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra.
Dengan analisis strata norma dan semiotik itu, maka karya sastra (puisi) akan dapat didapatkan makna sepenuhnya dan dapat dipahami sebagai karya seni yang bernilai puitis (estetis), yaitu dengan mengingat fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra (puisi).
Lebih lanjut analisis strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik itu sebagai yang berikut.
Bunyi
Orkestrasi bunyi; efoni dan kakofoni; kombinasi vokal dan konsonan tertentu; aliterasi dan asonansi.
Simbol bunyi: onomatope, kiasan suara, lambang rasa.
Sajak: awal, tengah, dalam, dan akhir.
Termasuk pembicaraan bunyi juga adalah irama: metrum dan ritme.
Kata
        Pembicaraan kata meliputi : kosa kata, unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif dan konotatif; pilihan kata (diksi); bahasa kiasan; citraan; sarana retorika; dan gaya kalimat, serta gaya sajak.

C.    SEMIOTIKA
Di dalam filsafat, yakni dalam proses dialektika, sebuah sintesis muncul ketika ada dua tesis yang berkontradiksi atau berasimilasi. Yang berkontradiksi biasanya disebut anti-tesis, ia menyangkal, menolak, berlawanan pada porosnya. Tetapi arti sintesis secara luas merupakan perpaduan beberapa hal menjadi kesatuan yang selaras. Kata sintesis itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, syn = tambah dan thesis = posisi. Sebuah integrasi dari beberapa elemen yang menghasilkan bentuk baru. Dalam hal ini, sintesis yang saya maksud bukan terdiri dari bertemunya tesis dan antitesis, tapi juga terkandung pemahaman bertemunya tesis dengan tesis lain yang memang sudah selaras sehingga keduanya saling melengkapi.
Tidak ada yang benar-benar baru dalam pemikiran. Jika pun ada, kebaruan itu tidak dalam bentuk mutlak. Seseorang harus mengambil pertimbangan pemikiran orang lain untuk mengeluarkan pemikirannya. Di jaman kuno, jaman di mana informasi sangat sulit didapat, mungkin sekali ada pemikiran yang benar-benar tersendiri. Seseorang menggali sendiri berdasarkan temuan-temuan yang didapatinya dalam kehidupan. Respon itu terwujud langsung berkat pemikirannya sendiri. Tetapi saat disiplin ilmu bercabang sedemikian rupa seperti sekarang ini, sulit sekali untuk memisahkan pemikiran dalam suatu cabang dari keterkaitan cabang lain. Sulit sekali memunculkan pemikiran tanpa ada kaitan dengan pemikiran orang lain. Respon-respon yang ada adalah hubungan kausal dari pemikiran-pemikiran orang lain. Bukan sebagai sesuatu yang meloncat begitu saja dari kekosongan atau menemu begitu saja seperti barang yang tergeletak.
Respon itu pula yang hendak saya munculkan dalam artikel ini. Membaca semiotika adalah membaca premis-premis yang telah digulirkan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Mulai dari Ferdinand de Sausure yang sezaman dengan Charles Sanders Peirce, kemudian berlanjut sampai era Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1). Michael Riffattere juga mewarnai semiotika dengan premis-premis yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam hal ini tesis yang diangkatnya lebih khusus menyoal bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Mengingat sastra memiliki sistem tersendiri dalam mewujudkan komunikasi. Bahasa menjadi alat dan dibelokkan untuk mendapatkan pengertian tertentu. Seperti yang telah dijelaskan oleh Riffattere soal Ketidaklangsungan Ekspresi, ada tiga poin penting yang membentuk hal itu, yakni:

1. Penggantian Arti (displacing of meaning)
                            
Unsur atau sebab yang menghasilkan ketidak-langsungan ekspresi adalah penggantian arti. Karena makna primer (denotatif) telah rusak, makna skunder (konotatif) menggantikan tempatnya. Di sini, dalam premis Reffattere, makna itu berganti secara untuh vis-a-vis, bukan berdiri bersama, bukan eksis bersama. Jadi makna awal menurutnya tidak ada lagi karena telah berganti. Hal ini disebabkan karena metafora dan metonimia, terkandung juga di dalamnya penggunaan majas lain seperti personifikasi, sinekdoke, alegori.



2. Penyimpangan atau Perusakan Arti (distorting of meaning)

Dalam pemahaman Riffattere, makna konotasi yang terwujud dalam puisi adalah  hasil dari perusakan arti. Dalam hal ini,makna awal (denotatif) dirusak untuk menghadirkan pemaknaan baru. Secara definitif makna baru itu tidak terbentuk secara absolut, dalam artian harus berarti demikian. Maka bisa jadi, makna yang dihasilkan oleh kerja interpretasi itu memiliki banyak bentuk. Dan Riffattere memandangnya sebagai perusakan atau penyimpangan. Meskipun begitu dia tidak menyebut secara definitif percabangan makna yang dihasilkan. Dia hanya menunjuk ada penyimpangan di sana, makna awal rusak dan menghasilkan makna baru. Menurut Riffattere ini dikarenakan tiga hal: ambiguitas, kontradiksi dan nonsense.

3. Penciptaan Arti (creating of meaning)

Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena keabsolutan makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta. Yang dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homologue dan tipografi.

Ketiga unsur pembentuk ketidaklangsungan ekspresi yang digulirkan oleh Riffattere bukan dalam artian bagian-bagian yang berdiri sendiri, ia dalam pengertian umum. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang dipisahkan secara numerik berdasarkan sifat-sifat yang muncul. Seperti yang disebutkannya, penggantian arti karena disebabkan oleh metafora, perusakan arti disebabkan oleh ambiguitas, penciptaan arti disebabkan oleh enjambemen dan tipografi. Dengan kata lain, ketidaklangsungan ekspresi dalam pemahaman Riffattere adalah terciptanya makna baru sesudah dirusak dan diganti. Ketidaklangsungan ekspresi merupakan kerja reaksi berantai. Dalam premis itu tidak sedang menyorot hasil makna yang tercipta, tapi proses terjadinya makna tersebut secara global. Riffattere juga tidak membaginya dalam bagian-bagian sesuai aplikasi logisnya. Dia berasumsi bahwa makna yang dihasilkan dalam puisi membutuhkan peran interpretator, sistem itu tidak bisa terwujud dengan sendirinya, secara an sich sistem itu tidak terbentuk sesuai kepentingan kalimat.

Saya tidak menyangkal pengartian ini, saya juga tidak menyangkal adanya ketidaklangsungan ekpresi bersebab tiga hal ini, karena hasil akhirnya juga sama. Sedikit kontradiksi dalam pemahaman saya adalah mengenai proses terciptanya makna tadi. Dalam pemahaman saya, makna yang tercipta dalam puisi adalah karena kepentingan kalimat (begitu juga dengan sebagian konotasi formal). Makna itu ada secara an sich di sana. Peran interpretator hanya dalam kaitan pembukaan selubung. Makna itu pada dasarnya sudah jadi dan mengeram dalam tubuh penanda. Kerja interpretasi di sana tinggal mengupasanya dalam sistem-sistem pemaknaan (telah saya singgung sebagian proses itu dalam sistem pemaknaan dalam puisi).

Untuk melengkapi tesis tersebut, ada beberapa tesis lain yang hendak saya gulirkan berdasarkan kecenderungan makna konotasi dalam puisi. Bukan sebagai antitesis mutlak, karena hasil akhirnya sama, yakni membelokkan makna dalam puisi. Perbedaan yang ada hanya mengenai proses terciptanya ketidaklangsungan ekspresi. Premis-premis itu di antaranya: penggabungan arti (consolidating of meaning), percabangan arti (affiliating of meaning), konkretisasi arti (concreting of meaning), keberlangsungan arti yang terus-menerus (enduring of meaning: continually).

D.    SEMIOTIKA RIFFATERRE

Teori semiotika Riffaterre secara umum memuat empat pokok pemikiran berkaitan dengan pemaknaan karya sastra. Pertama, ketidaklangsungan ekspresi. Sastra merupakan salah satu aktivitas berbahasa. Bahasa sastra berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari bersifat mimetik, sedangkan bahasa sastra bersifat semiotik. Karya sastra mengekspresikan konsep-konsep dan hal-hal melalui ketidaklangsungan. Dengan kata lain, karya sastra menyatakan sesuatu dan mengandung arti lain. Ada tiga kemungkinan yang menjadi penyebab ketidaklangsungan ekspresi, yaitu displacing of meaning (penggantian arti), distorting of meaning (penyimpangan atau perusakan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti). Dikatakan penggantian arti apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Penyimpangan atau perusakan arti apabila terdapat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Penciptaan arti apabila suatu tanda “keluar” dari tataran linguistik, yang bahkan terlihat tidak memiliki arti. Di antara ketiga ketidaklangsungan tersebut, ada satu faktor yang senantiasa ada, yaitu semuanya tidak dapat begitu saja dianggap sebagai representasi realitas. Representasi realitas hanya dapat diubah secara jelas dan tegas dalam suatu cara yang bertentangan dengan kemungkinan atau konteks yang diharapkan pembaca atau bisa dibelokkan tata bahasa atau leksikon yang menyimpang, yang disebut ungrammaticality (ketidakgramatikalan). Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan berkaitan dengan bahasa yang dipakai di dalam karya sastra, misalnya pemakaian majas. Sebaliknya, dalam ruang lingkup luas, ketidakgramatikalan berkaitan dengan segala sesuatu yang “aneh” yang terdapat di dalam karya sastra, misalnya struktur naratif yang tidak kronologis.
Kedua, pembacaan heuristik dan hermeneutik. Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang lebih tinggi. Proses semiotik pada dasarnya terjadi di dalam pikiran pembaca sebagai hasil dari pembacaan tahap kedua. Sebelum mencapai tahap pemaknaan, pembaca harus menghadapi rintangan pada tataran mimetik. Proses dekoding karya sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan dari awal hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai pembacaan heuristik dan pada tahap inilah terjadi interpretasi tahap pertama. Pada tahap ini, kompetensi kebahasaan dan kesastraan memainkan peran penting. Melalui kedua kompetensi tersebut, pembaca dapat mengenali adanya “keanehan-keanehan” dalam sebuah karya sastra, baik dalam hal kebahasaan maupun dalam hal-hal yang berkaitan dengan struktur karya sastra secara keseluruhan. Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap pertama. Pembaca berada di dalam sebuah efek dekoding. Artinya pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan, ternyata merupakan fakta-fakta yang ekuivalen. 
Berkaitan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, perlu dibedakan pengertian arti dan makna. Yang dimaksud dengan arti adalah semua informasi dalam tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca, sedangkan makna adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik. Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa arti sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan makna bisa saja “keluar” dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal di luar teks. Pada pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan arti sebuah teks, sedangkan makna diperoleh ketika pembaca telah melampaui pembacaan retroaktif atau hermeneutik. Pergantian dari arti menjadi makna pada akhirnya memunculkan konsep interpretan, yaitu sebuah tanda yang “menerjemahkan” tanda-permukaan teks dan menjelaskan hal lain yang disajikan teks.
Ketiga, matriks, model, dan varian. Pada proses pembacaan tahap kedua dikenali adanya matriks, model, dan varian-varian. Karya sastra merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal yang harafiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Matriks bersifat hipotesis dan di dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata-cara pemerolehannya atau pengembangannya. 
Keempat, intertekstualitas. Interpretasi secara menyeluruh terhadap karya sastra hanya mungkin dilakukan pembaca melalui interteks. Karya sastra mengandung arti hanya dengan mengacu kepada teks-teks lain, baik teks secara harafiah maupun teks dalam pengertian universal. Pemaknaan karya sastra bersandar sepenuhnya pada intertekstualitas dan untuk mengenalinya bergantung sepenuhnya pada kemampuan pembaca. Fenomena intertekstual tidak dapat dikenali tanpa membandingkan teks dengan generatornya, yaitu hipogram.  Secara khusus ada teks tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra, yaitu hipogram, sedangkan teks yang menyerap dan mentransformasi hipogram disebut teks transformasi. Hipogram merupakan sebuah sistem tanda yang berisi setidaknya sebuah pernyataan yang bisa saja sebesar sebuah teks, bisa hanya berupa potensi sehingga terlihat dalam tataran kebahasaan, atau bisa juga aktual sehingga terlihat dalam teks sebelumnya. Kalimat inti hipogram bisa saja aktual atau tidak sama sekali. Apabila hipogram merupakan teks yang aktual, dalam hal ini adalah karya sastra yang lain, kompetensi kebahasaan pembaca mungkin tidak cukup. Ketika pembaca mengenali hipogram dan menguraikan teks berdasarkan hipogramnya, interpretasinya tidak hanya berisi penguraian, tetapi juga kesadaran terhadap tradisi. Kesadaran ini mengarahkan pembaca kepada evaluasi estetikanya.] Hipogram dapat dihasilkan dari ungkapan-ungkapan klise, kutipan dari teks-teks lain, atau sebuah sistem deskriptif. Hipogram merupakan dead landscape yang mengacu kepada realitas yang lain dan keberadaannya harus disimpulkan sendiri oleh pembaca.Makna hakiki sebuah karya sastra dapat diperoleh dengan memanfaatkan prinsip intertekstualitas, yaitu menjajarkan, membandingkan, dan mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Perlu disampaikan di sini bahwa intertekstualitas berbeda dengan interteksi. Interteks adalah keseluruhan teks yang dapat didekatkan dengan teks yang ada di hadapan kita, keseluruhan teks yang dapat ditemukan dalam pikiran seseorang ketika membaca suatu bagian teks. Jadi, interteks adalah korpus yang tak terbatas. Memang, bi-sa saja ditemukan bagian awalnya: itu adalah teks yang mem-bangkitkan asosiasi pikiran segera setelah kita mulai membaca. Sebaliknya, jelas tak akan terlihat bagian akhirnya. Banyak ti-daknya asosiasi ini tergantung dari luasnya pengetahuan budaya si pembaca. intertekstualitas: yaitu suatu fenomena yang mengarahkan pembacaan teks, yang mungkin menentukan interpretasi, dan yang kebalikan dari pembacaan per baris. Ini adalah cara untuk memandang teks yang menentukan pembentukan makna wacana, sedangkan pembacaan per baris hanya menentukan makna unsurnya. Berkat cara memandang teks semacam ini, pembaca sadar bahwa dalam suatu karya sastra, kata-kata tidaklah mengacu pada benda-benda atau konsep atau secara umum tidak mengacu pada dunia yang bukan kata-kata (nonverbal). Di sini kata-kata mengacu pada suatu jalinan pemunculan yang secara keseluruhan sudah menyatu dengan dunia bahasa. Jalinan itu dapat berupa teks-teks yang telah dikenal maupun bagian-bagian dari teks yang muncul setelah terlepas dari konteksnya yang dapat dikenali dalam konteksnya yang baru, sehingga orang tahu bahwa teks tersebut telah ada sebelum ia muncul dalam konteksnya yang baru ini.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa teks-teks lain yang dapat didekatkan dengan teks yang kita baca bersifat luas sekaligus terbatas. Maksudnya, teks-teks tersebut bisa saja berupa teks-teks yang bersifat universal, tidak hanya teks-teks tertulis. Tetapi, keuniversalan teks-teks tersebut terbatas pada teks-teks yang berupa sebuah sistem spesifik dan bersifat verbal; tidak semua peristiwa di dalam kehidupan sehari-hari dapat dianggap sebagai teks. Ketika pembaca berhasil menemukan interteks, intertekstualitas akan terlihat secara eksplisit. Maksudnya, ketika pembaca berhasil menemukan adanya teks lain di dalam teks yang dibacanya, kemudian menjajarkan, membandingkan, dan mengontraskan keduanya sehingga dapat mengetahui hubungannya, pembaca akan merasa lebih mudah dalam mengungkap makna teks.Berkaitan dengan prinsip intertekstualitas, ada dua kaidah yang berlaku dalam memproduksi teks, yaitu perluasan (ekspansi) dan perubahan (konversi). Ekspansi mengubah kalimat matriks menjadi bentuk-bentuk yang lebih kompleks, sedangkan konversi mengubah kalimat matriks dengan memanfaatkan faktor yang sama. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa matriks adalah kalimat minimal yang harafiah. Melalui ekspansi dan konversi inilah matriks akan diubah menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Ekspansi dan konversi ini merupakan suatu interpretasi baru atas hipogram untuk menghasilkan teks transformasi.
            Di dalam teori semiotika Riffaterre juga dikenal adanya dual sign. Dual sign adalah sebuah kata yang bermakna rangkap sebagai hasil perpotongan atau pertemuan dua sekuen semantik atau asosiasi bentuk. Dengan kata lain, sebuah tanda di dalam karya sastra memiliki kemungkinan untuk mengacu kepada tanda-tanda yang lain; satu tanda memiliki dua acuan atau lebih. Dual sign tidak hanya berupa kata-kata yang terdapat di dalam sebuah teks, tetapi juga bisa berupa judul. Judul dapat memberikan informasi awal atau gambaran kepada pembacanya tentang yang terdapat di dalam teks yang akan dibacanya. Pada saat yang sama, judul bisa saja mengacu kepada teks-teks di luarnya. Makna yang terkandung di dalam dual sign dapat diungkap setelah pembaca menemukan adanya teks lain di dalam teks yang dibacanya.Sebuah tanda yang berkedudukan sebagai dual sign seperti sebuah pendulum semantik sehingga pembacaannya pun tidak pernah stabil. Ketidakstabilan di sini tidak hanya mengacu pada pembacaan yang dilakukan dua pembaca yang berbeda, tetapi juga mengacu pada pembacaan yang dilakukan seorang pembaca. Hasil yang diperoleh seorang pembaca pada suatu pembacaan selalu memiliki kemungkinan untuk mengalami pergeseran atau perubahan pada pembacaan-pembacaan berikutnya terhadap teks yang sama. Hal ini dikarenakan selalu ada perubahan pengetahuan atau pengalaman pembacaan yang mengarahkan horison harapan pembaca seiring dengan perjalanan waktu.

Pada akhirnya, dapat dinyatakan bahwa pembacalah satu-satunya penghubung antara teks, interteks, dan interpretan. Tanda-tanda di dalam karya sastra memiliki dua wajah, yaitu textually ungrammatical (tidak gramatikal secara tekstual) dan intertextually grammatical (gramatikal secara intertekstual). Segala sesuatu yang pada awalnya dan secara tekstual terlihat sebagai ketidakgramatikalan, sebagai sesuatu yang “aneh,” akan menjadi gramatikal dan masuk akal secara intertekstual. Pembacaan terhadap karya sastra bukanlah sesuatu yang stabil dan tidak ada interpretasi final.Di dalam tulisannya Riffaterre tidak menyajikan keempat hal tersebut ke dalam urutan seperti yang terdapat di dalam laporan penelitian ini. Pembicaraan tentang keempat hal tersebut tersebar di seluruh bagian tulisannya dan dibicarakan secara simultan. Membaca dan memahami teori semiotika Riffaterre pada dasarnya merupakan sebuah tindak interpretasi mengingat Riffaterre menyajikan pemikiran-pemikirannya dengan tidak terstruktur.
Penciptaan Arti (creating of meaning)
Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Contoh puisi ”Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri.        
Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zig-zag. Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara metatesis, secara linguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu. Dalam puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif, yaitu perkawinan itu menimbulkan angin-angan hidup.           
Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-liku dan penuh bahaya, pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi sebuah tragedy (Pradopo, 2005:131).
Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena keabsolutan makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta. Yang dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homologue dan tipografi.
2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik     

Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5–6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap maknadan fenomena yang terkandung dalam Jelita Senandung Hidup .     
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu. 
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2010:135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. 
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoerur dalm Ikhwan, dkk 2010 151). Cakupan teori ini 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2) Persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi, sedangkan menurut Santosa (2004:234) Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2010:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.       
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Riffaterre,1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut:        
1) Membaca untuk arti biasa.      
2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa.    
3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.         
3. Matriks dan Model   
Riffaterre dalam Pradopo menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13). Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993:126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.     
4. Hipogram       
Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antar teks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan tersebut dapat berupa penyimpangan atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak mau terjadi proses transformasi teks. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 2010:132). Dalam proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre (1978:2) mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit. Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Kumpulan Puisi Jelita Senandung Hidup . Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam sajak-sajak itu, maka proses pemaknaan akan dilakukan.
Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam Jelita Senandung Hidup .         
E.     ULASAN TEORI DAN PENERAPAN CONTOH
1.      Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi
Analisis struktural yang digabungkan dengan semiotik disebut struktural dinamik (Teeuw, 1983:63). Hal ini untuk mengatasi keterbatasan strukturalisme murni yang perspektif tinjauannya sinkronis (sewaktu) yang tidak sepenuhnya dapat menangkap relevansi eksistensi (rangka sosial-budaya) dan makna historis (seung, 1982:ix Teeuw, 1983:61).
a.    Penggantian Arti
Pada umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimia (Riffaterre:1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya). Misalnya dalam sajak Chairil ini (1959:19).

SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah....

Di hitam matamu kembang mawar dan melati : mawar dan melati adalah metafora dalam baris ini, berarti yang lain : sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi, dalam mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang menggairahkan dan murni  seperti keindahan bunga mawar
Dalam bait kedua baris pertama. “sepi menyanyi” adalah personifikasi, dalam keadaan yang mesra itu tiba-tiba terasa sepi : “sepilah yang menyanyi” karena mereka berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk mendoa tiba. Pada baris ke-3 dan baris ke-4, “Dan dalam dadaku memerdu lagu/menarik menari seluruh aku”. Kata lagu dan menari itu mengiaskan kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya yang menggairahkan, yang bersandar tari warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat mengenangkan.
Dalam bait ketiga baris pertama : “hidup dari hidupku, pintu terbuka”, mengiaskan bahwa ada jalan, ada harapan-harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya yang dikiaskan sebagai “Selama matamu bagiku menengadah”. Kalau kekasih masih mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya. “Selama kau darah mengalir dari luka” ini berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa sakit dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah: tidak bercerai.
b.      Penyimpangan Arti
Dikemukakan oleh Riffeterre (1978:2) penyimpangan arti terjadi apabila dalam sajak ada :
a)      Ambiguitas
Dalam puisi kata-kata, frase, kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau ambigu.
Seperti contoh dari sajak Sutardji Calzoum Bachri (1981:91)

TAPI
Aku bawakan bunga padamu


Tapi kau bilang masih
Aku bawakan resahku padamu


Tapi kau bilang hanya
Aku bawakan darahku adamu


Tapi kau bilang Cuma
Aku bawakan mimpiku padamu


Tapi kau bilang meski
Aku bawakan dukaku padamu


Tapi kau bilang tapi
Aku bawakan mayatku padamu


Tapi kau bilang hampir
Aku bawakan arwahmu padamu


Tapi kau bilang kalau
Tanpa apa aku datang padamu


Wah!

Aku bawakan bunga padamu, dapat ditafsirkan : aku bawakan sesuatu yang indah, yang menggairahkan, yang menyenangkan, tapi kau bilang masih : belum cukup, belum memadai, ataupun masih belum berarti. “Aku bawakan resahku padamu” : aku datang padamu dengan kegelisahan, kecemasan, dengan perasaan tak tenteram, dengan ketakutan, bahkan juga dengan cara bercampur baur, penuh kegugupan, tapi kau bilang hanya seperti itu tidak cukup, tidak ada artinya. “ begitu pula dengan baris-baris berikutnya. Dengan ambiguitas seperti itu puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan arti sesuai dengan asosiasinya. Dengan demikian, setiap kali sajak ini dibaca selalu memberikan arti baru.
b)      Kontradiksi
Dalam sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Seperti contoh sajak berikut ini :
NYANYIAN LADANG
Kau akan cukup punya istirah
Di hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya sandang
Buat menikah. Setelas selesai melunas hutang
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya pangan
Buat si ujang. Setelah selesai pergi kondangan
Pak tani, jangan menangis

Kau akan cukup punya ladang
Buat bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang
Pak tani, jangan menangis

Dalam sajak tersebut si penyair solah-olah menghibur pak tani yang tampaknya serba kecukupan, tetapi sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya sudah cukup bagi pak tani. Kehidupan petani sesungguhnya sangat sederhana dan sengsara, semua serba, akan!
c)      Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab terdapat dalam kosakata, hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, di dalam karya sastra, nonsense itu tetap bermakna dalam arti memiliki makna berdasarkan konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Digunakan kata-kata yang bernonsense itu ditujukan untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, berhubungan dengan dunia mistik, bisa juga disebut puisi sufistik.misalnya penggabungan dua kata atau lebih (sepisaupi, sepisaupa). Misalnya dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri berikut :
SEPISAUPI
Sepisau luka sepisau duri
Sepikul dosa sepukau sepi
Sepisau duka serisau diri
Sepisau sepi sepisau nyanyi

Sepisaupa sepisaupi
Sepisapanya sepikau sepi
Sepisaupa sepisaupi
Sepikul diri keranjang duri

Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sepisaupa sepisaupi
Sampai pisauNya kedalam nyanyi

Sutardji menggabungkan kata sepi dan pisau dan sapa menjadi sepisau, sepisaupi, dan sepisaupa, sepisapanya, maka sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga terjadi makna sepi seperti pisau yang menusuk. Dalam sajak terkandung : dosa itu menimbulkan derita seperti tusukan duri dan pisau dan membuat sepi terasing.
c.       Penciptaan Arti
Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (dalam karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini merupakan pengorganisasian teks di luar linguistik. Termasuk di dalam penciptaan arti ini adalah pembaitan, enjambement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues.
KEHARUAN
Aku tak terharu lagi
Sejak bapak tak menciumku di ubun
Aku tak terharu lagi
Sejak perselisihan tak selesai dengan ampun

Keharuan menawan
Ketika Bung Karno bersama rakyat
                             Teriak “Merdeka” 17 kali

Keharuan menawan
Ketika pasukan gerilya masuk Jokja
                             Sudah kita rebut kembali

Aku rindu keharuan
Waktu hujan membasahi bumi
                             Sehabis kering sebulan

Aku rindu keharuan
Waktu bendera dwiwarna
                             Berkibar di taman pahlawan

Aku ingin terharu
Melihat garis lengkung bertemu di ujung
Aku ingin terharu
Melihat dua tangan damai berhubung

Kita manusia perasa yang lekas terharu

Sajak Subagio itu penuh dengan keseimbangan (simitri), bait dalam hal rima akhirnya, baris-baris dalam baitnya, maupun antara bait yang satu dengan yang lain. Baris-baris dan bait itu merupakan paralelisme yang tersusun rapi, bahkan juga tipografinya dibuat seimbang. Kaena sejajar, timbul makna baru seperti bait pertama “mencium di ubun” sejajar dengan “selesai dengan ampun”, makna “mencium di ubun” itu selain bermakna kasih sayang juga bermakna maaf atau ampun. Pada bait kedua dari bait terakhir ada persejajaran yang menciptakan arti baru “melihat garis lengkung bertemu di ujung” menjadi bermakna baru karena disejajarkan dengan “melihat dua tangan damai berhubung”. Baris yang kedua ini tak akan mempunyai makna ‘perdamaian” bila tak disejajarkan  dengan baris yang keempat.
2.      STRATA NORMA ROMAN INGARDEN
Ingarden berpendapat bahwa setiap makhluk adalah kesatuan tiga materi (isi), bentuk (materi) dan keberadaan (dalam mode tertentu). Oleh karena itu, ontologi secara keseluruhan dibagi menjadi materi, ontologi formal dan eksistensial. Keberadaan bukanlah properti atau salah satu bahan atau saat-saat formal dari suatu objek, tetapi keberadaan menentukan apa yang ada dari esensinya mode menjadi milik itu. Mode yang terbentuk dari eksistensial 'momen' membuat Ingarden membedakan pasangan berlawanan berikut: orisinalitas derivativity, otonomi-heteronomi, kekhasan-connectiveness dan kemerdekaan ketergantungan. Dengan mempertimbangkan modus tersebut, ada empat bidang dasar:  absolut, ideal (abadi), realdan murni disengaja. Ingarden juga menarik perbedaan antara tiga domain: kualitas yang ideal murni, ide dan objek individu. Setiap objek individu secara formal subjek identitasnya ditentukan oleh sifat konstitutifnya. Ide dan makhluk murni disengaja memiliki dua sisi konstitusi formal, selain struktur mereka sendiri mereka juga memiliki isi (dalam kasus ide itu dibentuk oleh konstanta dan variabel, dan dalam kasus makhluk murni disengaja oleh tempat indeterminateness).
Bagaimanapun Ingarden dikenal tidak untuk investigasinya dalam ontologi umum dan metafisika, tetapi untuk tulisan-tulisannya dalam estetika, terutama untuk karya klasiknya pada ontologi sastra (1931, terjemahan Inggris 1973). Bahkan dilakukan dalam rangka membangun perbedaan radikal antara struktur sebagai 'obyek intensional' benda yang diciptakan dan bergantung pada kesadaran tindakan dan objek dalam realitas.
Karya Ingarden yang paling terkenal dan paling berpengaruh, terutama di dunia berbahasa Inggris, adalah ”The Literaty Work of Art” yang ditulis sekitar 1926, dan pertama kali diterbitkan di Jerman pada tahun 1931.Setiap identifikasi berusaha seperti mengarah ke berbagai absurditas, misalnya pandangan karya sastra adalah benda fisik akan membawa kita untuk mengatakan bahwa karya-karya tersebut berbeda dengan komposisi kimia.
Akibatnya, karya sastra tidak dapat diklasifikasikan dalam salah satu kategori utama dari benda yang dapat diterima oleh metafisika tradisional. Baik kategori dari yang nyata maupun yang ideal. Setiap ontologi dapat diterima literatur sehingga harus menerima entitas dari kategori lain. Ingarden akhirnya berpendapat, karya sastra adalah sebuah "formasi murni disengaja", berasal dari kalimat pembentuk aktivitas penulis, dan didirikan pada beberapa salinan publik dari kalimat-kalimat, yang bergantung pada eksistensi dan esensi yang hubungannya dengan makna ideal yang melekat pada kata-kata dari teks.
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau,
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.
                       
Perahu melancar, bulan memancar,
Dileher ku kalungkan ole-ole buat si pacar,
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang terang, di angin mendayu,
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“tujukan perahu ke pangkuanku saja”.

Amboi ! jalan sudah bertahun ku tempuh !
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

1.      Lapis Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara : suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konfensi bahasa tertentu, disini bahasa Indonesia. Hanya saja, dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah di tujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa “ atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni.
2.      Lapis Arti (Units of Meaning )
Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompokmkata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
Dalam bait pertama, “cintaku jauh di pulau” berarti : kekasihku berada di pulau yang jauh. “gadis manis, sekarang iseng sendiri” : kekasihku si aku maaih gadis dan manis. Karena si aku tidak ada, ia berbuat iseng menghabiskan waktu sendirian. Dapat juga berarti bahwa si gadis dengan sangat menantikan si aku. Dalam bait kedua: untuk menuu kekasihnya itu si aku naik perahu dengan lancar pada waktu terang bulan dan ia membawa buah tangan untuk pacarnya (ole-ole. Anginpun membantu (angin buritan), laut terang: tidak berkabut. Meskipun demikian si aku tidak akan sampai pada pacarnya.Bait ketiga: di air laut yang terang dan di angin yan bertiup kencang itu,menurut perasaannya secara sepenuhnya (di perasaan penghabisan) semuanya serba cepat, laju tanpa halangan (baris ke 1,2), namun ajal (kematian) telah memberi isyarat akan mengakhiri hidup si aku.Bait ke empat menunjukkan bahwa si aku putus asa. Meskipun ia sudah bertahun-tahun berlayar sehingga perahu yang di naiki akan rapuh terkena air garam. (baris ke 1,2), namun kematian telah menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia sempat bertemu, bercintaan dengan kekasihnya.Bait ke lima karena itu, kekasih si aku yang berada di pulau yang jauh itu akan sia-sia menanti si aku dan mati menghabiskan waktu sendiri.
Sesungguhnya sajak itu berupa kiasan. Pacar si aku, gadis manis itu, adalah kiasan cita-cita si aku yang menarik, tetapi sukar dicapai, harus melalui laut yang melambangkan perjuangan yang penuh rintangan, bahkan menentang maut. Karena itu, sebelum si aku mencapai cita-citanya, ia telah meninggal.
3.      Lapis Ketiga
Lapis satuan arti menimbulkan lapis ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang,
Objek-objek yang dikemukakan: cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal.
Pelaku atau tokoh: si aku. Latar waktu: waktu malam terang bulan. Latar tempat: laut yang terang (tidak berkabut), berangin yang kencang (angin buritan).
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
Gadis manis, kekasih si aku berada sendirian di sebuah pulau yang jauh. Si aku ingin menemuinya, ia naik perahu dengan laju pada waktu malam terang bulan. Laut tak berkabut, angin buritan meniup dengan kencang. Akan tetapi, dalam keadaan serba lancar itu, si aku merasa bahwa ia tidak akan sampai pada kekasihnya karena maut yang lebih dulu menghadang. Bahkan setelah bertahun-tahun berlayar hingga perahu yang dinaiki pun akan rapuh (rusak) kena air laut bertahun-tahun. Karena itu, kalau si aku tidak sampai ke tempat kekasihnya karena sudah meninggal sebelum sampai, maka gadis kekasihnya akan mati sia-sia menghabis-habiskan waktu sendirian.
4.      Lapis Keempat
Lapis “dunia” yang tak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit, tampak sebagai berikut:
Dipandang dari susut pandang tertentu kekasih si aku itu menarik, kelihatan dari kata-kata: gadis manis (bait pertama). Pada bait kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan suasana yang menyenangkan dan si aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang terang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisahan si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia.
Bait ketiga, baris ke-1, 2 menyatakan segalanya berjalan dengan baik, perahu berlayar dengan laju. Baris ke-3, 4 menyatakan si aku telah dihadang kematiannya.
Bait keempat dan kelima menyatakan kegagalan si aku untuk mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun segala daya upaya telah dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan perahu pun hampir hancur: kan merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya (gadisnya) si aku sudah mati.
5.      Lapis Kelima
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini lapis itu berupa ketragisan hidup manusia; yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan, disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar, tetapi (seringkali) manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya (yang dicita-citakannya) karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.
















BAB III
PENUTUP


A.   SIMPULAN
B.   SARAN







No comments:

Post a Comment