MAKALAH
PUISI
Untuk
Memenuhi Mata Kuliah Apresiasi Puisi
Dosen
Pengampu :
Oleh
:
Dwi
Putra W. S. A. P
2101411102
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat -Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas untuk memenuhi mata kuliah Apresiasi
Puisi.
Dimana
dalam makalah ini terdapat tiga bab yang disusun secara sistematis. Bab satu
diuraikan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penulisan. Bab dua yang berisi penjelasan. Dan pada bab tiga berisi
penutupan yang akan menguraiakan simpulan dan saran.
Makalah
masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami mengharap kritik dan saran yang
membangun demi kemajuan penulisan. Namun begitu kami berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
|
Semarang, 23 Juni 2012
Penulis
|
|
|
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ...................................................................................
|
|
KATA
PENGANTAR
.................................................................................
DAFTAR ISI
...............................................................................................
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
...........................................................................
A. Latar
Belakang
.................................................................................
B. Rumusan
Masalah ............................................................................
C. Tujuan
Penulisan
.............................................................................
|
|
BAB II
PEMBAHASAN
............................................................................
A. Ketidaklangsungan
Ekspresi Puisi ...................................................
B. Strata
Norma Roman Ingarden ........................................................
C. Semiotika ………………………………………………………….
D. Semiotika
Rifaterre ..........................................................................
E. Ulasan
Teori dan penerapan contoh puisi ........................................
|
|
BAB III
PENUTUP
.....................................................................................
A. Simpulan
.........................................................................................
B. Saran
................................................................................................
|
|
DARTAR
PUSTAKA .................................................................................
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Istilah
puisi berasal dari kata poezie (B. Belanda), sedangkan sajak
dari kata gedicht (B. Belanda). Dalam bahasa Inggris ada istilah poetry
sebagai istilah jenis sastra puisi, dan poem sebagai individunya.
Dengan demikian, istilah puisi mengacu pada jenis sastra (genre) atau poetry
yang berpasangan dengan istilah prosa, sedangkan istilah sajak Sekarang kita
batasi definisi puisi. Sering terjadi kesalahpahaman ketika mendefinisikan
puisi. Karya sastra puisi sering disebut karangan terikat. Kesalahpahaman
tersebut terjadi akibat mendefinisikan puisi membandingkan dengan batasan prosa
dan masih mengacu kepada contoh puisi-puisi lama.Berbicara puisi maka tidak dapat
lepas dari bahasa, dan berbicara pemaknaan puisi (sastra) tidak dapat lepas
dari pembaca. Puisi atau karya sastra pada satu sisi adalah a dialectic
between text and reader (Riffattere, 1978), dan pada sisi yang lain
merupakan dialektika antara tataran mimetik dan semiotik. Puisi, dengan
karakteristik yang dimiliki, menggunakan bahasa sehari-hari, tapi bukan bahasa
sehari-hari. Puisi mengungkapkan sesuatu, tetapi dengan sesuatu yang lain. Oleh
karena itu, dalam tataran semiotika, teks-teks yang hadir dalam puisi dinilai
sebagai sebuah tanda yang harus digali lebih dalam maknanya. Makna tentu
bukanlah tanda itu, tetapi sesuatu yang dibaliknya. Meminjam istilahnya
Saussure ada signifie dan significant, ada penanda dan ada petanda. Dengan demikian,
membaca (memaknai) puisi, seperti halnya membaca karya sastra yang lain, perlu
memperhatikan karakter dari puisi tersebut serta memperhatikan ‘langkah kerja’
yang mesti dilalui. Dengan memperhatikan hal tersebutlah kita akan dapat sampai
pada tujuan utamanya, yaitu menemukan pusat makna, menemukan dasar makna yang
utama, hipogram.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan ketidaklangsungan ekspresi puisi?
2.
Apa dan bagaimana teori
strata norma Roman Ingarden?
3.
Apa yang dimaksud dengan semiotika?
4.
Apa
yang dimaksud dengan semiotika Riffaterre?
C.
Tujuan
1.
Menjelaskan
apa yang dimaksud dengan ketidaklangsungan ekspresi puisi
2.
Menjelaskan
bagaimana teori strata norma Roman Ingarden
3.
Menjelaskan apa arti semiotika itu sendiri,
4.
Menjelaskan apa yang dimaksud dengan semiotika Riffaterre
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ketidaklangsungan
Ekspresi Puisi
Penggantian arti
disebabkan oleh penggunaan bahasa kias. Bahasa kias mencakup semua jenis
ungkapan yang memiliki makna lain dengan makna harfiahnya. Bahasa kias bisa
berupa kata, frasa, ataupun satuan sintaksis yang lebih luas. Sesuai dengan
hakekat puisi sebagai pemusatan dan pemadatan ekspresi, bahasa kias dalam puisi
berfungsi sebagai saraba pengedepanan suatu yang berdimensi jamak dalam bentuk
yang sesingkat-singkatnya. Disamping itu, sebagai akibat bentuknya yang
singkat, bahasa kias juga berfungsi membangkitkan tanggapan pembaca. Fungsi
bahasa kias adalah untuk mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan hal
lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik dan hidup (Pradopo, 1999: 62).
Bahasa kias dalam puisi dikelompokan menjadi tiga kelompok, yakni kelompok
perbandingan (metafora dan simile), penggantian (metonimi dan sinekdoki), dan
pemanusiaan (personifikasi). Kesemua bahasa kias tersebut memiliki sifat yang
umum, yaitu bahasa-bahasa kias tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara
menghubungkannya dengan yang lain ( Altenbern dalam Pradopo, 1999 : 62 )
Metafora adalah bahasa kias yang membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain tanpa kata pembanding, misalnya Bumi ini perempuan jalang. Simile adalah bahasa kias yang membandingkan suatu hal dengan hal lain disertai dengan kata pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana, dan kata-kata pembanding lainnya, misalnya serupa dara dibalik tirai (Pradopo, 1999: 62).
Metonimi adalah bahasa kias berupa penggunaan sebuah atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Contoh klakson dan lonceng bunyi bergiliran. Kata klakson dan kata lonceng dapat menggantkan orang-orang atau partai-partai yang bersaing adu keras suaranya (Pradopo, 1999: 78).
Sinekdok adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda (hal) itu sendiri (Altenbern dalam Pradopo, 1999: 78). Sinekdoki ada dua macam, yaitu:
1. pars pro toto (sebagian untuk keseluruhan),
2. totum pro parte (keseluruhan untuk
sebagian).
Contoh: kujelajahi bumi dan alis kekasih. Kata bumi merupakan totum pro
parte, dan kata kekasih merupakan pars pro toto.
Personifikasi adalah bahasa kias yang menyamakan sesuatu (benda) dengan manusia, benda-benda mati dibuat seolah-olah dapat berfikir, berbuat dan sebagainya layaknya manusia (Sayuti, 2002: 68). Contoh: ombak bernyanyi, burung-burung tertawa riang.
Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1999: 213) penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal yakni ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ambiguitas adalah penafsiran bermacam-macam arti atau makna terhadap suatu ungkapan atau kata. Kontradiksi adalah salah satu car men yampaikan maksud secara berlawanan atau kebalikannya (Pradopo, 1999:215). Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti atau kata-kata yang merupakan ciptaan penyair sendiri, contoh potapa potitu potkaukah potaku (Pradopo, 1999: 219).
Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Sajak (rima) adalah persamaan bunyi akhir kata. Bunyi ini berulang secara terpola dan biasanya terdapat di akhir baris saja, tetapi kadang-kadang terletak di awal atau di tengah baris. Enjambemen adalah kata atau frasa atau baris puisi yang berfungsi ganda yakni menghubungkan bagian yang mendahului dengan bagian yang mengikutinya. Artinya, sebuah kelompok kata dipenggal, dan penggalannya dipindah ke baris berikutnya. Tipografi merupakan aspek bentuk visual puisi yang berupa tata hubungan dan tata baris. Tipografi kadang disebut sebagai susunan baris puisi dan ada pula yang menyebutnya sebagai ukiran bentuk. Tipografi dalam puisi dipergunakan untuk mendapatkan bentuk yang menarik supaya indah dipandang oleh pembaca.
1.
Penggantian
Arti
Pada umumnya kata-kata
kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimia
(Riffaterre:1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti
yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya). Misalnya dalam sajak Chairil
ini (1959:19).
SAJAK
PUTIH
Bersandar
pada tari warna pelangi
Kau
depanku bertudung sutra senja
Di
hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum
rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi
menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak
muka air kolam jiwa
Dan
dalam dadaku memerdu lagu
Menarik
menari seluruh aku
Selama
matamu bagiku menengadah
Selama
kau darah mengalir dari luka
Antara
kita mati datang tidak membelah....
Di
hitam matamu kembang mawar dan melati : mawar
dan melati adalah metafora dalam
baris ini, berarti yang lain : sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi,
dalam mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang
menggairahkan dan murni seperti
keindahan bunga mawar
Dalam
bait kedua baris pertama. “sepi menyanyi” adalah personifikasi, dalam keadaan
yang mesra itu tiba-tiba terasa sepi : “sepilah yang menyanyi” karena mereka
berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk
mendoa tiba. Pada baris ke-3 dan baris ke-4, “Dan dalam dadaku memerdu
lagu/menarik menari seluruh aku”. Kata lagu dan menari itu mengiaskan
kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya yang menggairahkan,
yang bersandar tari warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat
mengenangkan.
Dalam
bait ketiga baris pertama : “hidup dari hidupku, pintu terbuka”, mengiaskan
bahwa ada jalan, ada harapan-harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya
yang dikiaskan sebagai “Selama matamu bagiku menengadah”. Kalau kekasih masih
mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya. “Selama kau darah
mengalir dari luka” ini berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa
sakit dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah:
tidak bercerai.
2.
Penciptaan
Arti
Penciptaan
arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara
linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (dalam
karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini merupakan pengorganisasian teks di
luar linguistik. Termasuk di dalam penciptaan arti ini adalah pembaitan,
enjambement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues. Pembaitan
adalah pengaturan bait-bait; Enjambement bermakna pemenggalan kata-kata pada
baris yang berbeda; Rima dimaksudkan sebagai pengaturan bunyi pada akhir baris;
Tipografi berarti penyusunan baris-baris dalam keseluruhan sajak; Homologues
adalah bentuk kata yang sama pada baris-baris yang sejajar (misalnya pada
pantun). Terjadi penciptaan arti (Riffaterre,
1978:2) bila ruang teks (spasi teks) berlaku sebagai prinsip pengorganisasian
untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya
secara linguistik tidak ada artinya, misalnya simitri, rima, enjabement, atau
ekuivalensi-ekuivalensi makna (semantik) diantara persamaan-persamaan posisi
dalam bait (honologues). Seperti sajak dibawah ini.
KEHARUAN
Aku tak terharu lagi
Sejak bapak tak menciumku di ubun
Aku tak terharu lagi
Sejak perselisihan tak selesai
dengan ampun
Keharuan menawan
Ketika Bung Karno bersama rakyat
Teriak
“Merdeka” 17 kali
Keharuan menawan
Ketika pasukan gerilya masuk Jokja
Sudah
kita rebut kembali
Aku rindu keharuan
Waktu hujan membasahi bumi
Sehabis
kering sebulan
Aku rindu keharuan
Waktu bendera dwiwarna
Berkibar
di taman pahlawan
Aku ingin terharu
Melihat garis lengkung bertemu di
ujung
Aku ingin terharu
Melihat dua tangan damai berhubung
Kita manusia perasa yang lekas
terharu
Sajak
Subagio itu penuh dengan keseimbangan (simitri), bait dalam hal rima akhirnya,
baris-baris dalam baitnya, maupun antara bait yang satu dengan yang lain.
Baris-baris dan bait itu merupakan paralelisme yang tersusun rapi, bahkan juga
tipografinya dibuat seimbang. Kaena sejajar, timbul makna baru seperti bait
pertama “mencium di ubun” sejajar dengan “selesai dengan ampun”, makna “mencium
di ubun” itu selain bermakna kasih sayang juga bermakna maaf atau ampun. Pada
bait kedua dari bait terakhir ada persejajaran yang menciptakan arti baru
“melihat garis lengkung bertemu di ujung” menjadi bermakna baru karena
disejajarkan dengan “melihat dua tangan damai berhubung”. Baris yang kedua ini
tak akan mempunyai makna ‘perdamaian” bila tak disejajarkan dengan baris yang keempat.
3.
Penyimpangan
Arti
Dikemukakan oleh
Riffeterre (1978:2) penyimpangan arti terjadi apabila dalam sajak ada :
a. Ambiguitas
Dalam puisi kata-kata,
frase, kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau
ambigu.
b. Kontradiksi
Dalam
sajak modern banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara
berlawanan atau berbalikan.
c. Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai
arti, sebab terdapat dalam kosakata, hanya berupa rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan
tetapi, di dalam karya sastra, nonsense itu tetap bermakna dalam arti memiliki
makna berdasarkan konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Digunakan
kata-kata yang bernonsense itu ditujukan untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis,
berhubungan dengan dunia mistik, bisa juga disebut puisi sufistik.misalnya
penggabungan dua kata atau lebih (sepisaupi, sepisaupa).
B.
STRATA
NORMA ROMAN INGARDEN
Ingarden memegang filosofi yaitu
ontologi.Ontologi adalah disiplin otonom di mana kita menemukan dan membangun
hubungan yang diperlukan antara kualitas yang ideal murni dengan analisis
intuitif dari isi ide-ide.Ini adalah persiapan yang sangat diperlukan untuk
metafisika, yang bertujuan untuk menjelaskan kebenaran teori pengetahuan, filsafat
manusia, filsafat alam dan sebagainya.
Dalam epistemologi Ingarden membedakan: (1)
teori pengetahuan murni, yang sebenarnya merupakan bagian dari ontologi, karena
ia menjelaskan sebagai analisis apriori dari "pengetahuan" ide umum;
(2) criteriology, yaitu penelitian nilai-nilai epistemik seperti objektivitas
dan kecukupan, dan (3) kritik pengetahuan, yang mengevaluasi hasil faktual yang
diperoleh dari kognisi ilmiah dan filosofis .
Karena
kurangnya informasi yang kita ketahui tentang siapa itu Roman Ingarden dan apa
saja yang dapat kita pelajari tentang ajaran-ajarannya maka, dalam makalah ini
kami akan membahas tentang seluk beluk Roman Ingarden beserta aliran dan
karya-karyanya.
Ingarden
mengembangkan skema multi-dimensi ontologi kategori dengan membagi menjadi tiga
bagian: formal, material dan ontologi eksistensial, sesuai dengan tiga aspek
yang berbeda yang dapat dilihat dalam setiap entitas (yang secara formal
struktur, sifat materi, dan mode menjadi masing-masing). Ingarden
membedakan kategori materi, dengan tingkat tinggi jenis bahan termasuk,
misalnya, karya seni dan benda-benda nyata (spatio-temporal).
Ingarden membedakan empat momen eksistensial yang berbeda dari
ketergantungan :
2.1.1
Kontingensi
(ketergantungan dari sebuah entitas yang terpisah yang lain agar tetap ada);
2.1.2
derivasi
(ketergantungan dari suatu entitas yang lain dalam rangka untuk datang menjadi
ada);
2.1.3
inseparateness(ketergantungan dari suatu entitas yang hanya bisa ada
jika berdampingan dengan sesuatu yang lain dalam satu kesatuan), dan heteronomi
(ketergantungan dari suatu entitas untuk yang keberadaan dan abadi di seluruh
kualitatif) lain.
Strata Norma Roman Ingarden
Puisi(sajak) merupakan sebuah struktur yang
kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui
bagian- bagian serta jalinannya secara nyata. Roman Ingarden membagi
elemen-elemen puisi menjadi dua lapis norma yaitu lapis “dunia” yang dipandang
dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung
dalamnya (implied). Sebuah peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau
dinyatakan “terdengar” atau “terlihat”, bahkan peristiwa yang sama, misalnya
suara jederan pintu, dapat memperlihatkan aspek “luar” atau “dalam” watak.
Lapis metafisis, berupa sifat- sifat metafisis
(yang sublim, yang tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan
sifat- sifat ini seni dapat memberikan renungan atau kontenplasi (kepada
pembaca).Akan tetapi, tidak setiap karya sastra dalamnya terdapat lapis
metafisis seperti itu.
Untuk lebih menjelaskan analisis strata norma
tersebut dianalisis sajak Chairil Anwar (1959: 44) sebagai berikut:
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku
jauh di pulau,
Gadis
manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu
melancar, bulan memancar,
Dileher
ku kalungkan ole-ole buat si pacar,
Angin
membantu, laut terang, tapi terasa
Aku
tidak ‘kan sampai padanya
Di air
yang terang, di angin mendayu,
Di
perasaan penghabisan segala melaju
Ajal
bertakhta, sambil berkata:
“tujukan
perahu ke pangkuanku saja”.
Amboi
!jalan sudah bertahun ku tempuh !
Perahu
yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa
ajal memanggil dulu
Sebelum
sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku
jauh di pulau
Kalau
‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
Lapis
Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara :
suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu:
suara frase dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua
satuan bunyi yang berdasarkan konfensi bahasa tertentu, disini bahasa
Indonesia. Hanya saja, dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah di tujukan
pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa “ atau khusus, yaitu
yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni.
Lapis
Arti (Units of Meaning )
Satuan terkecil berupa fonem.Satuan fonem
berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompokmkata, kalimat,
alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
Dalam bait pertama, “cintaku jauh di pulau”
berarti : kekasihku berada di pulau yang jauh. “gadis manis, sekarang iseng
sendiri” : kekasihku si aku maaih gadis dan manis. Karena si aku tidak ada, ia
berbuat iseng menghabiskan waktu sendirian. Dapat juga berarti bahwa si gadis
dengan sangat menantikan si aku. Dalam bait kedua: untuk menuu kekasihnya itu
si aku naik perahu dengan lancar pada waktu terang bulan dan ia membawa buah
tangan untuk pacarnya (ole-ole. Anginpun membantu (angin buritan), laut terang:
tidak berkabut. Meskipun demikian si aku tidak akan sampai pada pacarnya.Bait
ketiga: di air laut yang terang dan di angin yan bertiup kencang itu,menurut
perasaannya secara sepenuhnya (di perasaan penghabisan) semuanya serba cepat,
laju tanpa halangan (baris ke 1,2), namun ajal (kematian) telah memberi isyarat
akan mengakhiri hidup si aku.Bait ke empat menunjukkan bahwa si aku putus asa.
Meskipun ia sudah bertahun-tahun berlayar sehingga perahu yang di naiki akan
rapuh terkena air garam. (baris ke 1,2), namun kematian telah menghadang dan
mengakhiri hidupnya sebelum ia sempat bertemu, bercintaan dengan
kekasihnya.Bait ke lima karena itu, kekasih si aku yang berada di pulau yang
jauh itu akan sia-sia menanti si aku dan mati menghabiskan waktu sendiri.
Sesungguhnya sajak itu berupa kiasan. Pacar si
aku, gadis manis itu, adalah kiasan cita-cita si aku yang menarik, tetapi sukar
dicapai, harus melalui laut yang melambangkan perjuangan yang penuh rintangan,
bahkan menentang maut. Karena itu, sebelum si aku mencapai cita-citanya, ia
telah meninggal.
Lapis
Ketiga
Lapis satuan arti menimbulkan lapis ketiga,
berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang,
Objek-objek yang dikemukakan: cintaku, gadis
manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal.
Pelaku atau tokoh: si aku. Latar waktu: waktu
malam terang bulan. Latar tempat: laut yang terang (tidak berkabut), berangin
yang kencang (angin buritan).
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang
merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang.Ini merupakan gabungan dan
jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur
ceritanya (alur); seperti berikut.
Gadis manis, kekasih si aku berada sendirian di
sebuah pulau yang jauh. Si aku ingin menemuinya, ia naik perahu dengan laju
pada waktu malam terang bulan. Laut tak berkabut, angin buritan meniup dengan
kencang. Akan tetapi, dalam keadaan serba lancar itu, si aku merasa bahwa ia
tidak akan sampai pada kekasihnya karena maut yang lebih dulu menghadang. Bahkan setelah bertahun-tahun berlayar hingga
perahu yang dinaiki pun akan rapuh (rusak) kena air laut bertahun-tahun. Karena
itu, kalau si aku tidak sampai ke tempat kekasihnya karena sudah meninggal
sebelum sampai, maka gadis kekasihnya akan mati sia-sia menghabis-habiskan
waktu sendirian.
Lapis
Keempat
Lapis “dunia” yang tak usah dinyatakan, tetapi
sudah implisit, tampak sebagai berikut:
Dipandang dari susut pandang tertentu kekasih
si aku itu menarik, kelihatan dari kata-kata: gadis manis (bait pertama). Pada
bait kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan suasana yang menyenangkan dan si
aku penuh kegembiraan berlayar di
laut yang terang pada waktu terang bulan. Baris keempat menyatakan kegelisahan
si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia.
Bait ketiga, baris ke-1, 2 menyatakan segalanya
berjalan dengan baik, perahu berlayar dengan laju. Baris ke-3, 4 menyatakan si
aku telah dihadang kematiannya.
Bait keempat dan kelima menyatakan kegagalan si
aku untuk mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun segala daya upaya telah
dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan perahu pun hampir hancur: kan
merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya (gadisnya) si aku sudah mati.
Lapis
Kelima
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang
menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini lapis itu berupa ketragisan
hidup manusia; yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan, disertai sarana
yang cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar, tetapi (seringkali)
manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya (yang dicita-citakannya)
karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang
hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.
Analisis strata norma Roman Ingarden itu dapat
dikatakan hanya analisis puisi secara formal saja, menganalisis
fenomena-fenomena saja. Roman Ingarden tidak mengemukakan nilai seni puisi yang
dianalaisis.Dengan hal yang demikian ini, analisis Roman Ingarden ini dikritik
Renne Wellek (1968:156) bahwa analisisnya yang maju itu menjadi berkurang
nilainya karena tidak dihubungkan dengan penilaian.Hal ini disebabkan bahwa
puisi itu merupakan karya imajinatif bermedium bahasa yang unsur seni (estetik)-nya
dominan (Wellek, 1968: 25).Orang tak dapat memahami dan menganalisis karya seni
tanpa menunjukkan penilaian.Analisis yang tanpa menghubungkan dengan penilaian
ini merupakan kesalahan analisis fenomenologis, begitu kata Wellek (1968: 156).
Analisis strata norma dimaksudkan untuk
mengetahui semua unsur (fenomena) karya sastra yang ada.Dengan demikian, akan
dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas. Namun, analisis yang
hanya memecah-mecah demikian, dapat berakibat mengosongkan makna karya sastra
(T.S. Eliot via Sanson, 1960: 155). Karena itu, analisis strata norma harus
ditingkatkan ke analisis semiotik, karya sastra sebagai sistem tanda yang
bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur) karya sastra itu mempunyai makna (arti).Di
samping itu, juga analisis ditingkatkan kepada fungsi estetik setiap fenomena
atau unsur-unsur karya sastra.
Dengan analisis strata norma dan semiotik itu,
maka karya sastra (puisi) akan dapat didapatkan makna sepenuhnya dan dapat
dipahami sebagai karya seni yang bernilai puitis (estetis), yaitu dengan
mengingat fungsi estetik setiap fenomena atau unsur-unsur karya sastra (puisi).
Lebih lanjut analisis strata norma yang
dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik itu sebagai yang berikut.
Bunyi
Orkestrasi
bunyi; efoni dan kakofoni; kombinasi vokal dan konsonan tertentu; aliterasi dan
asonansi.
Simbol
bunyi: onomatope, kiasan suara, lambang rasa.
Sajak:
awal, tengah, dalam, dan akhir.
Termasuk
pembicaraan bunyi juga adalah irama: metrum dan ritme.
Kata
Pembicaraan kata meliputi : kosa kata,
unsur atau aspek ketatabahasaan; masalah denotatif dan konotatif; pilihan kata
(diksi); bahasa kiasan; citraan; sarana retorika; dan gaya kalimat, serta gaya
sajak.
C.
SEMIOTIKA
Di dalam filsafat, yakni
dalam proses dialektika, sebuah sintesis muncul ketika ada dua tesis yang
berkontradiksi atau berasimilasi. Yang berkontradiksi biasanya disebut
anti-tesis, ia menyangkal, menolak, berlawanan pada porosnya. Tetapi arti
sintesis secara luas merupakan perpaduan beberapa hal menjadi kesatuan yang
selaras. Kata sintesis itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, syn =
tambah dan thesis = posisi. Sebuah integrasi dari beberapa
elemen yang menghasilkan bentuk baru. Dalam hal ini, sintesis yang saya maksud
bukan terdiri dari bertemunya tesis dan antitesis, tapi juga terkandung
pemahaman bertemunya tesis dengan tesis lain yang memang sudah selaras sehingga
keduanya saling melengkapi.
Tidak ada yang
benar-benar baru dalam pemikiran. Jika pun ada, kebaruan itu tidak dalam bentuk
mutlak. Seseorang harus mengambil pertimbangan pemikiran orang lain untuk
mengeluarkan pemikirannya. Di jaman kuno, jaman di mana informasi sangat sulit
didapat, mungkin sekali ada pemikiran yang benar-benar tersendiri. Seseorang
menggali sendiri berdasarkan temuan-temuan yang didapatinya dalam kehidupan.
Respon itu terwujud langsung berkat pemikirannya sendiri. Tetapi saat disiplin
ilmu bercabang sedemikian rupa seperti sekarang ini, sulit sekali untuk
memisahkan pemikiran dalam suatu cabang dari keterkaitan cabang lain. Sulit
sekali memunculkan pemikiran tanpa ada kaitan dengan pemikiran orang lain.
Respon-respon yang ada adalah hubungan kausal dari pemikiran-pemikiran orang
lain. Bukan sebagai sesuatu yang meloncat begitu saja dari kekosongan atau
menemu begitu saja seperti barang yang tergeletak.
Respon itu pula yang
hendak saya munculkan dalam artikel ini. Membaca semiotika adalah membaca premis-premis
yang telah digulirkan oleh pemikir-pemikir terdahulu. Mulai dari Ferdinand de
Sausure yang sezaman dengan Charles Sanders Peirce, kemudian berlanjut sampai
era Roland Barthes. Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion,
yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan
pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti
sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993:1).
Michael Riffattere juga mewarnai semiotika dengan premis-premis yang menarik
untuk ditelusuri lebih jauh. Dalam hal ini tesis yang diangkatnya lebih khusus
menyoal bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Mengingat sastra memiliki
sistem tersendiri dalam mewujudkan komunikasi. Bahasa menjadi alat dan
dibelokkan untuk mendapatkan pengertian tertentu. Seperti yang telah dijelaskan
oleh Riffattere soal Ketidaklangsungan Ekspresi, ada tiga poin penting yang
membentuk hal itu, yakni:
1. Penggantian Arti (displacing of meaning)
Unsur atau sebab yang menghasilkan ketidak-langsungan
ekspresi adalah penggantian arti. Karena makna primer (denotatif) telah rusak,
makna skunder (konotatif) menggantikan tempatnya. Di sini, dalam premis
Reffattere, makna itu berganti secara untuh vis-a-vis, bukan
berdiri bersama, bukan eksis bersama. Jadi makna awal menurutnya tidak ada lagi
karena telah berganti. Hal ini disebabkan karena metafora dan metonimia,
terkandung juga di dalamnya penggunaan majas lain seperti personifikasi,
sinekdoke, alegori.
2. Penyimpangan atau Perusakan Arti (distorting
of meaning)
Dalam pemahaman Riffattere, makna konotasi yang
terwujud dalam puisi adalah hasil dari perusakan arti. Dalam hal
ini,makna awal (denotatif) dirusak untuk menghadirkan pemaknaan baru. Secara
definitif makna baru itu tidak terbentuk secara absolut, dalam artian harus
berarti demikian. Maka bisa jadi, makna yang dihasilkan oleh kerja interpretasi
itu memiliki banyak bentuk. Dan Riffattere memandangnya sebagai perusakan atau
penyimpangan. Meskipun begitu dia tidak menyebut secara definitif percabangan
makna yang dihasilkan. Dia hanya menunjuk ada penyimpangan di sana, makna awal
rusak dan menghasilkan makna baru. Menurut Riffattere ini dikarenakan tiga hal:
ambiguitas, kontradiksi dan nonsense.
3. Penciptaan Arti (creating of meaning)
Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab
penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu
tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere
memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna
itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena
keabsolutan makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta. Yang
dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homologue dan tipografi.
Ketiga unsur pembentuk ketidaklangsungan
ekspresi yang digulirkan oleh Riffattere bukan dalam artian bagian-bagian yang
berdiri sendiri, ia dalam pengertian umum. Ketiga-tiganya merupakan satu
kesatuan yang dipisahkan secara numerik berdasarkan sifat-sifat yang muncul. Seperti
yang disebutkannya, penggantian arti karena disebabkan oleh metafora, perusakan
arti disebabkan oleh ambiguitas, penciptaan arti disebabkan oleh enjambemen dan
tipografi. Dengan kata lain, ketidaklangsungan ekspresi dalam pemahaman
Riffattere adalah terciptanya makna baru sesudah dirusak dan diganti.
Ketidaklangsungan ekspresi merupakan kerja reaksi berantai. Dalam premis itu
tidak sedang menyorot hasil makna yang tercipta, tapi proses terjadinya makna
tersebut secara global. Riffattere juga tidak membaginya dalam bagian-bagian
sesuai aplikasi logisnya. Dia berasumsi bahwa makna yang dihasilkan dalam puisi
membutuhkan peran interpretator, sistem itu tidak bisa terwujud dengan
sendirinya, secara an sich sistem itu tidak terbentuk sesuai
kepentingan kalimat.
Saya tidak menyangkal pengartian ini, saya juga
tidak menyangkal adanya ketidaklangsungan ekpresi bersebab tiga hal ini, karena
hasil akhirnya juga sama. Sedikit kontradiksi dalam pemahaman saya adalah
mengenai proses terciptanya makna tadi. Dalam pemahaman saya, makna yang
tercipta dalam puisi adalah karena kepentingan kalimat (begitu juga dengan
sebagian konotasi formal). Makna itu ada secara an sich di
sana. Peran interpretator hanya dalam kaitan pembukaan selubung. Makna itu pada
dasarnya sudah jadi dan mengeram dalam tubuh penanda. Kerja interpretasi di
sana tinggal mengupasanya dalam sistem-sistem pemaknaan (telah saya singgung
sebagian proses itu dalam sistem pemaknaan dalam puisi).
Untuk melengkapi tesis tersebut, ada beberapa
tesis lain yang hendak saya gulirkan berdasarkan kecenderungan makna konotasi
dalam puisi. Bukan sebagai antitesis mutlak, karena hasil akhirnya sama, yakni
membelokkan makna dalam puisi. Perbedaan yang ada hanya mengenai proses
terciptanya ketidaklangsungan ekspresi. Premis-premis itu di antaranya:
penggabungan arti (consolidating of meaning), percabangan arti (affiliating
of meaning), konkretisasi arti (concreting of meaning),
keberlangsungan arti yang terus-menerus (enduring of meaning: continually).
D. SEMIOTIKA
RIFFATERRE
Teori
semiotika Riffaterre secara umum memuat empat pokok pemikiran berkaitan dengan
pemaknaan karya sastra. Pertama, ketidaklangsungan
ekspresi. Sastra merupakan salah satu aktivitas berbahasa. Bahasa sastra
berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa sehari-hari bersifat mimetik,
sedangkan bahasa sastra bersifat semiotik. Karya sastra mengekspresikan
konsep-konsep dan hal-hal melalui ketidaklangsungan. Dengan kata lain, karya
sastra menyatakan sesuatu dan mengandung arti lain. Ada tiga kemungkinan yang
menjadi penyebab ketidaklangsungan ekspresi, yaitu displacing of meaning (penggantian
arti), distorting
of meaning (penyimpangan atau perusakan arti), dan creating
of meaning (penciptaan arti). Dikatakan penggantian arti apabila
suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti ke arti yang lain, ketika suatu
kata mewakili kata yang lain. Penyimpangan atau perusakan arti apabila terdapat
ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Penciptaan arti apabila suatu tanda
“keluar” dari tataran linguistik, yang bahkan terlihat tidak memiliki arti. Di
antara ketiga ketidaklangsungan tersebut, ada satu faktor yang senantiasa ada,
yaitu semuanya tidak dapat begitu saja dianggap sebagai representasi realitas.
Representasi realitas hanya dapat diubah secara jelas dan tegas dalam suatu
cara yang bertentangan dengan kemungkinan atau konteks yang diharapkan pembaca
atau bisa dibelokkan tata bahasa atau leksikon yang menyimpang, yang disebut ungrammaticality
(ketidakgramatikalan). Dalam ruang lingkup sempit, ketidakgramatikalan
berkaitan dengan bahasa yang dipakai di dalam karya sastra, misalnya pemakaian
majas. Sebaliknya, dalam ruang lingkup luas, ketidakgramatikalan berkaitan
dengan segala sesuatu yang “aneh” yang terdapat di dalam karya sastra, misalnya
struktur naratif yang tidak kronologis.
Kedua,
pembacaan heuristik dan hermeneutik. Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan
yang lebih tinggi. Proses semiotik pada dasarnya terjadi di dalam pikiran
pembaca sebagai hasil dari pembacaan tahap kedua. Sebelum mencapai tahap
pemaknaan, pembaca harus menghadapi rintangan pada tataran mimetik. Proses
dekoding karya sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan
dari awal hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai
pembacaan heuristik dan pada tahap inilah terjadi interpretasi tahap pertama. Pada
tahap ini, kompetensi kebahasaan dan kesastraan memainkan peran penting.
Melalui kedua kompetensi tersebut, pembaca dapat mengenali adanya
“keanehan-keanehan” dalam sebuah karya sastra, baik dalam hal kebahasaan maupun
dalam hal-hal yang berkaitan dengan struktur karya sastra secara keseluruhan. Setelah melalui pembacaan tahap pertama,
pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan
retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses
interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha
melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca
pada proses pembacaan tahap pertama. Pembaca berada di dalam sebuah efek
dekoding. Artinya pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada
awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat sebagai ketidakgramatikalan,
ternyata merupakan fakta-fakta yang ekuivalen.
Berkaitan
dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, perlu dibedakan pengertian arti dan
makna.
Yang dimaksud dengan arti adalah semua informasi dalam
tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca, sedangkan makna
adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik. Secara sederhana, dapat
dinyatakan bahwa arti sepenuhnya bersifat
referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan makna
bisa saja “keluar” dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal di luar
teks. Pada pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan arti
sebuah teks, sedangkan makna diperoleh ketika pembaca
telah melampaui pembacaan retroaktif atau hermeneutik. Pergantian dari arti
menjadi makna pada
akhirnya memunculkan konsep interpretan, yaitu sebuah tanda yang
“menerjemahkan” tanda-permukaan teks dan menjelaskan hal lain yang disajikan
teks.
Ketiga,
matriks, model, dan varian. Pada proses pembacaan tahap kedua dikenali adanya
matriks, model, dan varian-varian. Karya sastra merupakan hasil transformasi
matriks, yaitu sebuah kalimat minimal yang harafiah, menjadi bentuk yang lebih
panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Matriks bersifat hipotesis dan di dalam
struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa saja
berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks. Matriks
selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut
diatur aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai model. Matriks,
model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas
teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian,
matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan
tata-cara pemerolehannya atau pengembangannya.
Keempat,
intertekstualitas. Interpretasi secara menyeluruh terhadap karya sastra hanya
mungkin dilakukan pembaca melalui interteks. Karya sastra mengandung arti hanya
dengan mengacu kepada teks-teks lain, baik teks secara harafiah maupun teks
dalam pengertian universal. Pemaknaan karya sastra bersandar sepenuhnya pada
intertekstualitas dan untuk mengenalinya bergantung sepenuhnya pada kemampuan pembaca. Fenomena
intertekstual tidak dapat dikenali tanpa membandingkan teks dengan
generatornya, yaitu hipogram. Secara
khusus ada teks tertentu yang menjadi latar penciptaan sebuah karya sastra,
yaitu hipogram, sedangkan teks yang menyerap dan mentransformasi hipogram
disebut teks transformasi. Hipogram merupakan sebuah sistem tanda yang berisi
setidaknya sebuah pernyataan yang bisa saja sebesar sebuah teks, bisa hanya
berupa potensi sehingga terlihat dalam tataran kebahasaan, atau bisa juga
aktual sehingga terlihat dalam teks sebelumnya. Kalimat inti hipogram bisa saja
aktual atau tidak sama sekali. Apabila hipogram merupakan teks yang aktual,
dalam hal ini adalah karya sastra yang lain, kompetensi kebahasaan pembaca
mungkin tidak cukup. Ketika pembaca mengenali hipogram dan menguraikan teks
berdasarkan hipogramnya, interpretasinya tidak hanya berisi penguraian, tetapi
juga kesadaran terhadap tradisi. Kesadaran ini mengarahkan pembaca kepada
evaluasi estetikanya.] Hipogram dapat dihasilkan dari ungkapan-ungkapan klise,
kutipan dari teks-teks lain, atau sebuah sistem deskriptif. Hipogram merupakan dead
landscape yang mengacu kepada realitas yang lain dan keberadaannya harus disimpulkan sendiri
oleh pembaca.Makna hakiki sebuah karya sastra dapat diperoleh dengan
memanfaatkan prinsip intertekstualitas, yaitu menjajarkan, membandingkan, dan
mengontraskan sebuah teks transformasi dengan hipogramnya. Perlu disampaikan di
sini bahwa intertekstualitas berbeda dengan interteksi. Interteks adalah keseluruhan teks yang dapat
didekatkan dengan teks yang ada di hadapan kita, keseluruhan teks yang dapat
ditemukan dalam pikiran seseorang ketika membaca suatu bagian teks. Jadi,
interteks adalah korpus yang tak terbatas. Memang, bi-sa saja ditemukan bagian
awalnya: itu adalah teks yang mem-bangkitkan asosiasi pikiran segera setelah
kita mulai membaca. Sebaliknya, jelas tak akan terlihat bagian akhirnya. Banyak
ti-daknya asosiasi ini tergantung dari luasnya pengetahuan budaya si pembaca. intertekstualitas: yaitu suatu fenomena yang
mengarahkan pembacaan teks, yang mungkin menentukan interpretasi, dan yang
kebalikan dari pembacaan per baris. Ini adalah cara untuk memandang teks yang
menentukan pembentukan makna wacana, sedangkan pembacaan per baris hanya
menentukan makna unsurnya. Berkat cara memandang teks semacam ini, pembaca
sadar bahwa dalam suatu karya sastra, kata-kata tidaklah mengacu pada
benda-benda atau konsep atau secara umum tidak mengacu pada dunia yang bukan
kata-kata (nonverbal). Di sini kata-kata mengacu pada suatu jalinan pemunculan
yang secara keseluruhan sudah menyatu dengan dunia bahasa. Jalinan itu dapat
berupa teks-teks yang telah dikenal maupun bagian-bagian dari teks yang muncul
setelah terlepas dari konteksnya yang dapat dikenali dalam konteksnya yang baru,
sehingga orang tahu bahwa teks tersebut telah ada sebelum ia muncul dalam
konteksnya yang baru ini.Dengan demikian, dapat dipahami bahwa teks-teks lain
yang dapat didekatkan dengan teks yang kita baca bersifat luas sekaligus
terbatas. Maksudnya, teks-teks tersebut bisa saja berupa teks-teks yang
bersifat universal, tidak hanya teks-teks tertulis. Tetapi, keuniversalan
teks-teks tersebut terbatas pada teks-teks yang berupa sebuah sistem spesifik
dan bersifat verbal; tidak semua peristiwa di dalam kehidupan sehari-hari dapat
dianggap sebagai teks. Ketika pembaca berhasil menemukan interteks,
intertekstualitas akan terlihat secara eksplisit. Maksudnya, ketika pembaca
berhasil menemukan adanya teks lain di dalam teks yang dibacanya, kemudian
menjajarkan, membandingkan, dan mengontraskan keduanya sehingga dapat
mengetahui hubungannya, pembaca akan merasa lebih mudah dalam mengungkap makna
teks.Berkaitan dengan prinsip intertekstualitas, ada dua kaidah yang berlaku
dalam memproduksi teks, yaitu perluasan (ekspansi) dan perubahan (konversi).
Ekspansi mengubah kalimat matriks menjadi bentuk-bentuk yang lebih kompleks,
sedangkan konversi mengubah kalimat matriks dengan memanfaatkan faktor yang
sama. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa
matriks adalah kalimat minimal yang harafiah. Melalui ekspansi dan konversi
inilah matriks akan diubah menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan
tidak harafiah. Ekspansi dan konversi ini merupakan suatu interpretasi baru
atas hipogram untuk menghasilkan teks transformasi.
Di dalam teori semiotika Riffaterre juga
dikenal adanya dual sign. Dual
sign adalah sebuah kata yang bermakna rangkap sebagai hasil
perpotongan atau pertemuan dua sekuen semantik atau asosiasi bentuk. Dengan
kata lain, sebuah tanda di dalam karya sastra memiliki kemungkinan untuk
mengacu kepada tanda-tanda yang lain; satu tanda memiliki dua acuan atau lebih.
Dual
sign tidak hanya berupa kata-kata yang terdapat di dalam sebuah
teks, tetapi juga bisa berupa judul. Judul dapat memberikan informasi awal atau
gambaran kepada pembacanya tentang yang terdapat di dalam teks yang akan
dibacanya. Pada saat yang sama, judul bisa saja mengacu kepada teks-teks di
luarnya. Makna yang terkandung di dalam dual sign dapat diungkap setelah
pembaca menemukan adanya teks lain di dalam teks yang dibacanya.Sebuah tanda
yang berkedudukan sebagai dual sign seperti sebuah pendulum
semantik sehingga pembacaannya pun tidak pernah stabil. Ketidakstabilan di sini
tidak hanya mengacu pada pembacaan yang dilakukan dua pembaca yang berbeda,
tetapi juga mengacu pada pembacaan yang dilakukan seorang pembaca. Hasil yang
diperoleh seorang pembaca pada suatu pembacaan selalu memiliki kemungkinan
untuk mengalami pergeseran atau perubahan pada pembacaan-pembacaan berikutnya
terhadap teks yang sama. Hal ini dikarenakan selalu ada perubahan pengetahuan
atau pengalaman pembacaan yang mengarahkan horison harapan pembaca seiring
dengan perjalanan waktu.
Pada akhirnya, dapat dinyatakan bahwa
pembacalah satu-satunya penghubung antara teks, interteks, dan interpretan.
Tanda-tanda di dalam karya sastra memiliki dua wajah, yaitu textually
ungrammatical (tidak gramatikal secara tekstual) dan intertextually
grammatical (gramatikal secara intertekstual). Segala sesuatu yang pada awalnya dan secara
tekstual terlihat sebagai ketidakgramatikalan, sebagai sesuatu yang “aneh,”
akan menjadi gramatikal dan masuk akal secara intertekstual. Pembacaan terhadap
karya sastra bukanlah sesuatu yang stabil dan tidak ada interpretasi final.Di
dalam tulisannya Riffaterre tidak menyajikan keempat hal tersebut ke dalam
urutan seperti yang terdapat di dalam laporan penelitian ini. Pembicaraan
tentang keempat hal tersebut tersebar di seluruh bagian tulisannya dan
dibicarakan secara simultan. Membaca dan memahami teori semiotika Riffaterre
pada dasarnya merupakan sebuah tindak interpretasi mengingat Riffaterre
menyajikan pemikiran-pemikirannya dengan tidak terstruktur.
Penciptaan Arti (creating of
meaning)
Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Contoh puisi ”Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri.
Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zig-zag. Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara metatesis, secara linguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu. Dalam puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif, yaitu perkawinan itu menimbulkan angin-angan hidup.
Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-liku dan penuh bahaya, pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi sebuah tragedy (Pradopo, 2005:131).
Penciptaan arti ditimbulkan melalui enjambement, homologue, dan tipografi (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti ini merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna di dalam puisi. Jadi, penciptaan arti ini merupakan organisasi teks di luar linguistik. Contoh puisi ”Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri.
Puisi ini lebih menekankan pada segi tipografi yang disusun secara zig-zag. Puisi ini hanya terdiri dari dua kata: kawin dan kasih. Kedua kata itu diputus-putus dan dibalik secara metatesis, secara linguistik tidak ada artinya kecuali kawin dan kasih itu. Dalam puisi, kata kasih dan kawin mengandung arti konotatif, yaitu perkawinan itu menimbulkan angin-angan hidup.
Tipografi zig-zag itu memberi sugesti bahwa perkawinan yang semula bermakna angan-angan kebahagiaan hidup, setelah melalui jalan yang berliku-liku dan penuh bahaya, pada akhirnya menemui bencana. Perkawinan itu akhirnya berbuntut menjadi sebuah tragedy (Pradopo, 2005:131).
Ketidaklangsungan ekspresi juga terbentuk sebab
penciptaan arti. Ini menunjukkan adanya kerja interpretasi, karena makna itu
tercipta, bukan muncul dengan sendirinya. Dalam pemahaman saya, Riffattere
memandang makna skunder dalam puisi sesuai olah subyektifitas pembaca. Makna
itu tidak muncul begitu saja karena kepentingan kalimat, bukan karena
keabsolutan makna yang ada dengan sendirinya. Ia ada karena ia tercipta. Yang
dikatakannya bersebab oleh enjambemen, homologue dan tipografi.
2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5–6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap maknadan fenomena yang terkandung dalam Jelita Senandung Hidup .
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2010:135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoerur dalm Ikhwan, dkk 2010 151). Cakupan teori ini 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2) Persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi, sedangkan menurut Santosa (2004:234) Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2010:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Riffaterre,1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut:
1) Membaca untuk arti biasa.
2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa.
3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
3. Matriks dan Model
Riffaterre dalam Pradopo menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13). Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993:126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
4. Hipogram
Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antar teks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan tersebut dapat berupa penyimpangan atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak mau terjadi proses transformasi teks. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 2010:132). Dalam proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre (1978:2) mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit. Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Kumpulan Puisi Jelita Senandung Hidup . Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam sajak-sajak itu, maka proses pemaknaan akan dilakukan.
Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam Jelita Senandung Hidup .
2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
Untuk dapat memberi makna secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif (Riffaterre, 1978:5–6). Konsep ini akan diterapkan sebagai langkah awal dalam usaha untuk mengungkap maknadan fenomena yang terkandung dalam Jelita Senandung Hidup .
Pembacaan heuristik menurut Riffaterre (1978:5) merupakan pembacaan tingkat pertama untuk memahami makna secara linguistik, sedangkan pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan tingkat kedua untuk menginterpretasi makna secara utuh. Dalam pembacaan ini, pembaca lebih memahami apa yang sudah dia baca untuk kemudian memodifikasi pemahamannya tentang hal itu.
Menurut Santosa (2004:231) bahwa pembacaan heuristik adalah pembacaan yang didasarkan pada konvensi bahasa yang bersifat mimetik (tiruan alam) dan membangun serangkaian arti yang heterogen, berserak-serakan atau tak gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena kajian didasarkan pada pemahaman arti kebahasaan yang bersifat lugas atau berdasarkan arti denotatif dari suatu bahasa. Sedangkan Pradopo (2010:135) memberi definisi pambacaan heuristik yaitu pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoerur dalm Ikhwan, dkk 2010 151). Cakupan teori ini 1) peristiwa pemahaman terhadap teks, 2) Persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi, sedangkan menurut Santosa (2004:234) Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan yang bermuara pada ditemukannya satuan makna puisi secara utuh dan terpadu. Sementara itu, Pradopo (2010:137) mengartikan pembacaan hermeneutik sebagai pembacaan berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat kedua (makna konotasi). Pada tahap ini, pembaca harus meninjau kembali dan membandingkan hal-hal yang telah dibacanya pada tahap pembacaan heuristik. Dengan cara demikian, pembaca dapat memodifikasi pemahamannya dengan pemahaman yang terjadi dalam pembacaan hermeneutik.
Puisi harus dipahami sebagai sebuah satuan yang bersifat struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Oleh karena itu, pembacaan hermeneutik pun dilakukan secara struktural atau bangunan yang tersusun dari berbagai unsur kebahasaan. Artinya, pembacaan itu bergerak secara bolak-balik dari suatu bagian ke keseluruhan dan kembali ke bagian yang lain dan seterusnya. Pembacaan ini dilakukan pada interpretasi hipogram potensial, hipogram aktual, model, dan matriks (Riffaterre,1978:5). Proses pembacaan yang dimaksudkan oleh Riffaterre (dalam Selden, 1993:126) dapat diringkas sebagai berikut:
1) Membaca untuk arti biasa.
2) Menyoroti unsur-unsur yang tampak tidak gramatikal dan yang merintangi penafsiran mimetik yang biasa.
3) Menemukan hipogram, yaitu mendapat ekspresi yang tidak biasa dalam teks.
4) Menurunkan matriks dari hipogram, yaitu menemukan sebuah pernyataan tunggal atau sebuah kata yang dapat menghasilkan hipogram dalam teks.
3. Matriks dan Model
Riffaterre dalam Pradopo menjelaskan bahwa memahami sebuah puisi sama dengan melihat sebuah donat. Terdapat ruang kosong di tengah-tengah yang berfungsi untuk menunjang dan menopang terciptanya daging donat di sekeliling ruang kosong itu. Dalam puisi, ruang kosong ini merupakan pusat pemaknaan yang disebut dengan matriks (1978:13). Matriks tidak hadir dalam sebuah teks, namun aktualisasi dari matriks itu dapat hadir dalam sebuah teks yang disebut model. Matriks itulah yang akhirnya memberikan kesatuan sebuah sajak (Selden, 1993:126). Hal ini senada dengan konsep yang dikemukakan oleh Indrastuti (2007: 4) bahwa matriks merupakan konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dirangkum dalam satu kata atau frase. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model. Aktualisasi pertama itu berupa kata atau kalimat tertentu yang khas dan puitis. Kekhasan dan kepuitisan model itu mampu membedakan kata atau kalimat-kalimat lain dalam puisi. Eksistensi kata itu dikatakan bila tanda bersifat hipogramatik dan karenanya monumental. Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian itu ditentukan oleh model.
4. Hipogram
Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antar teks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan tersebut dapat berupa penyimpangan atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak mau terjadi proses transformasi teks. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 2010:132). Dalam proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre (1978:2) mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipogram potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit. Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Kumpulan Puisi Jelita Senandung Hidup . Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam sajak-sajak itu, maka proses pemaknaan akan dilakukan.
Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna yang utuh dan menyeluruh dalam Jelita Senandung Hidup .
E. ULASAN TEORI DAN PENERAPAN CONTOH
1. Ketidaklangsungan
Ekspresi Puisi
Analisis
struktural yang digabungkan dengan semiotik disebut struktural dinamik (Teeuw, 1983:63). Hal ini untuk mengatasi
keterbatasan strukturalisme murni yang perspektif tinjauannya sinkronis
(sewaktu) yang tidak sepenuhnya dapat menangkap relevansi eksistensi (rangka
sosial-budaya) dan makna historis (seung, 1982:ix Teeuw, 1983:61).
a.
Penggantian
Arti
Pada umumnya kata-kata
kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain, lebih-lebih metafora dan metonimia
(Riffaterre:1978:2). Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti
yang lain (tidak menurut arti yang sesungguhnya). Misalnya dalam sajak Chairil
ini (1959:19).
SAJAK
PUTIH
Bersandar
pada tari warna pelangi
Kau
depanku bertudung sutra senja
Di
hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum
rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi
menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak
muka air kolam jiwa
Dan
dalam dadaku memerdu lagu
Menarik
menari seluruh aku
Selama
matamu bagiku menengadah
Selama
kau darah mengalir dari luka
Antara
kita mati datang tidak membelah....
Di
hitam matamu kembang mawar dan melati : mawar
dan melati adalah metafora dalam
baris ini, berarti yang lain : sesuatu yang indah, atau cinta yang murni. Jadi,
dalam mata kekasih si aku itu tampak sesuatu (cinta) yang indah atau cinta yang
menggairahkan dan murni seperti
keindahan bunga mawar
Dalam
bait kedua baris pertama. “sepi menyanyi” adalah personifikasi, dalam keadaan
yang mesra itu tiba-tiba terasa sepi : “sepilah yang menyanyi” karena mereka
berdua tidak berkata-kata, suasana begitu khusuk seperti waktu malam untuk
mendoa tiba. Pada baris ke-3 dan baris ke-4, “Dan dalam dadaku memerdu
lagu/menarik menari seluruh aku”. Kata lagu dan menari itu mengiaskan
kegembiraan si aku karena bersanding (melihat) kekasihnya yang menggairahkan,
yang bersandar tari warna pelangi, yaitu dalam keadaan yang sangat
mengenangkan.
Dalam
bait ketiga baris pertama : “hidup dari hidupku, pintu terbuka”, mengiaskan
bahwa ada jalan, ada harapan-harapan selama kekasih si aku masih cinta padanya
yang dikiaskan sebagai “Selama matamu bagiku menengadah”. Kalau kekasih masih
mau menengadah kepada si aku berarti masih cinta padanya. “Selama kau darah
mengalir dari luka” ini berarti selama kau masih hidup, masih dapat merasa
sakit dan sampai kematian datang antara si aku dan kekasihnya tidak membelah:
tidak bercerai.
b.
Penyimpangan
Arti
Dikemukakan oleh
Riffeterre (1978:2) penyimpangan arti terjadi apabila dalam sajak ada :
a) Ambiguitas
Dalam puisi kata-kata,
frase, kalimat sering mempunyai arti ganda, menimbulkan banyak tafsir atau
ambigu.
Seperti contoh dari
sajak Sutardji Calzoum Bachri (1981:91)
TAPI
Aku bawakan bunga padamu
|
|
|
Tapi kau bilang masih
|
Aku bawakan resahku padamu
|
|
|
Tapi kau bilang hanya
|
Aku bawakan darahku adamu
|
|
|
Tapi kau bilang Cuma
|
Aku bawakan mimpiku padamu
|
|
|
Tapi kau bilang meski
|
Aku bawakan dukaku padamu
|
|
|
Tapi kau bilang tapi
|
Aku bawakan mayatku padamu
|
|
|
Tapi kau bilang hampir
|
Aku bawakan arwahmu padamu
|
|
|
Tapi kau bilang kalau
|
Tanpa apa aku datang padamu
|
|
|
Wah!
|
Aku bawakan bunga
padamu, dapat ditafsirkan : aku bawakan sesuatu yang indah, yang menggairahkan,
yang menyenangkan, tapi kau bilang masih : belum cukup, belum memadai, ataupun
masih belum berarti. “Aku bawakan resahku padamu” : aku datang padamu dengan kegelisahan,
kecemasan, dengan perasaan tak tenteram, dengan ketakutan, bahkan juga dengan
cara bercampur baur, penuh kegugupan, tapi kau bilang hanya seperti itu tidak
cukup, tidak ada artinya. “ begitu pula dengan baris-baris berikutnya. Dengan
ambiguitas seperti itu puisi memberi kesempatan kepada pembaca untuk memberikan
arti sesuai dengan asosiasinya. Dengan demikian, setiap kali sajak ini dibaca
selalu memberikan arti baru.
b) Kontradiksi
Dalam sajak modern
banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau
berbalikan. Seperti contoh sajak berikut ini :
NYANYIAN
LADANG
Kau
akan cukup punya istirah
Di
hari siang. Setelah selesai mengerjakan sawah
Pak
tani, jangan menangis
Kau
akan cukup punya sandang
Buat
menikah. Setelas selesai melunas hutang
Pak
tani, jangan menangis
Kau
akan cukup punya pangan
Buat
si ujang. Setelah selesai pergi kondangan
Pak
tani, jangan menangis
Kau
akan cukup punya ladang
Buat
bersawah. Setelah selesai mendirikan kandang
Pak
tani, jangan menangis
Dalam sajak tersebut si
penyair solah-olah menghibur pak tani yang tampaknya serba kecukupan, tetapi
sebenarnya hidupnya sangat sederhana dan sengsara. Seolah segala-galanya sudah
cukup bagi pak tani. Kehidupan petani sesungguhnya sangat sederhana dan
sengsara, semua serba, akan!
c) Nonsense
Nonsense
adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab terdapat
dalam kosakata, hanya berupa
rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, di dalam karya
sastra, nonsense itu tetap bermakna dalam arti memiliki makna berdasarkan
konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Digunakan kata-kata yang bernonsense
itu ditujukan untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, berhubungan dengan
dunia mistik, bisa juga disebut puisi sufistik.misalnya
penggabungan dua kata atau lebih (sepisaupi, sepisaupa). Misalnya dalam sajak
Sutardji Calzoum Bachri berikut :
SEPISAUPI
Sepisau
luka sepisau duri
Sepikul
dosa sepukau sepi
Sepisau
duka serisau diri
Sepisau
sepi sepisau nyanyi
Sepisaupa
sepisaupi
Sepisapanya
sepikau sepi
Sepisaupa
sepisaupi
Sepikul
diri keranjang duri
Sepisaupa
sepisaupi
Sepisaupa
sepisaupi
Sepisaupa
sepisaupi
Sampai
pisauNya kedalam nyanyi
Sutardji
menggabungkan kata sepi dan pisau dan sapa menjadi sepisau, sepisaupi, dan
sepisaupa, sepisapanya, maka sapanya dalam sepi itu menusuk seperti pisau. Di
situ arti sepi dan pisau digabungkan hingga terjadi makna sepi seperti pisau
yang menusuk. Dalam sajak terkandung : dosa itu menimbulkan derita seperti
tusukan duri dan pisau dan membuat sepi terasing.
c.
Penciptaan
Arti
Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk
visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna
dalam sajak (dalam karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini merupakan
pengorganisasian teks di luar linguistik. Termasuk di dalam penciptaan arti ini
adalah pembaitan,
enjambement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues.
KEHARUAN
Aku tak terharu lagi
Sejak bapak tak menciumku di ubun
Aku tak terharu lagi
Sejak perselisihan tak selesai dengan
ampun
Keharuan menawan
Ketika Bung Karno bersama rakyat
Teriak
“Merdeka” 17 kali
Keharuan menawan
Ketika pasukan gerilya masuk Jokja
Sudah
kita rebut kembali
Aku rindu keharuan
Waktu hujan membasahi bumi
Sehabis
kering sebulan
Aku rindu keharuan
Waktu bendera dwiwarna
Berkibar
di taman pahlawan
Aku ingin terharu
Melihat garis lengkung bertemu di
ujung
Aku ingin terharu
Melihat dua tangan damai berhubung
Kita manusia perasa yang lekas
terharu
Sajak
Subagio itu penuh dengan keseimbangan (simitri), bait dalam hal rima akhirnya,
baris-baris dalam baitnya, maupun antara bait yang satu dengan yang lain.
Baris-baris dan bait itu merupakan paralelisme yang tersusun rapi, bahkan juga
tipografinya dibuat seimbang. Kaena sejajar, timbul makna baru seperti bait
pertama “mencium di ubun” sejajar dengan “selesai dengan ampun”, makna “mencium
di ubun” itu selain bermakna kasih sayang juga bermakna maaf atau ampun. Pada
bait kedua dari bait terakhir ada persejajaran yang menciptakan arti baru
“melihat garis lengkung bertemu di ujung” menjadi bermakna baru karena
disejajarkan dengan “melihat dua tangan damai berhubung”. Baris yang kedua ini
tak akan mempunyai makna ‘perdamaian” bila tak disejajarkan dengan baris yang keempat.
2.
STRATA
NORMA ROMAN INGARDEN
Ingarden berpendapat bahwa setiap makhluk
adalah kesatuan tiga materi (isi), bentuk (materi) dan keberadaan (dalam mode
tertentu). Oleh karena itu, ontologi secara keseluruhan dibagi menjadi materi,
ontologi formal dan eksistensial. Keberadaan bukanlah properti atau salah satu
bahan atau saat-saat formal dari suatu objek, tetapi keberadaan menentukan apa
yang ada dari esensinya mode menjadi milik itu. Mode yang terbentuk dari
eksistensial 'momen' membuat Ingarden membedakan pasangan berlawanan berikut:
orisinalitas derivativity, otonomi-heteronomi, kekhasan-connectiveness dan
kemerdekaan ketergantungan. Dengan mempertimbangkan modus tersebut, ada empat
bidang dasar: absolut, ideal (abadi),
realdan murni disengaja. Ingarden juga menarik perbedaan antara tiga domain:
kualitas yang ideal murni, ide dan objek individu. Setiap objek individu secara
formal subjek identitasnya ditentukan oleh sifat konstitutifnya. Ide dan
makhluk murni disengaja memiliki dua sisi konstitusi formal, selain struktur mereka
sendiri mereka juga memiliki isi (dalam kasus ide itu dibentuk oleh konstanta
dan variabel, dan dalam kasus makhluk murni disengaja oleh tempat
indeterminateness).
Bagaimanapun Ingarden
dikenal tidak untuk investigasinya dalam ontologi umum dan metafisika, tetapi
untuk tulisan-tulisannya dalam estetika, terutama untuk karya klasiknya pada
ontologi sastra (1931, terjemahan Inggris 1973). Bahkan dilakukan dalam rangka
membangun perbedaan radikal antara struktur sebagai 'obyek intensional' benda
yang diciptakan dan bergantung pada kesadaran tindakan dan objek dalam
realitas.
Karya Ingarden yang paling terkenal dan paling berpengaruh,
terutama di dunia berbahasa Inggris, adalah ”The Literaty Work of Art” yang
ditulis sekitar 1926, dan pertama kali diterbitkan di Jerman pada tahun
1931.Setiap identifikasi berusaha seperti mengarah ke berbagai absurditas,
misalnya pandangan karya sastra adalah benda fisik akan membawa kita untuk
mengatakan bahwa karya-karya tersebut berbeda dengan komposisi kimia.
Akibatnya, karya sastra tidak dapat diklasifikasikan dalam salah
satu kategori utama dari benda yang dapat diterima oleh metafisika tradisional.
Baik kategori dari yang nyata maupun yang ideal. Setiap ontologi dapat diterima
literatur sehingga harus menerima entitas dari kategori lain. Ingarden akhirnya
berpendapat, karya sastra adalah sebuah "formasi murni disengaja",
berasal dari kalimat pembentuk aktivitas penulis, dan didirikan pada beberapa
salinan publik dari kalimat-kalimat, yang bergantung pada eksistensi dan esensi
yang hubungannya dengan makna ideal yang melekat pada kata-kata dari teks.
CINTAKU
JAUH DI PULAU
Cintaku
jauh di pulau,
Gadis
manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu
melancar, bulan memancar,
Dileher
ku kalungkan ole-ole buat si pacar,
Angin membantu,
laut terang, tapi terasa
Aku
tidak ‘kan sampai padanya
Di air
yang terang, di angin mendayu,
Di
perasaan penghabisan segala melaju
Ajal
bertakhta, sambil berkata:
“tujukan
perahu ke pangkuanku saja”.
Amboi !
jalan sudah bertahun ku tempuh !
Perahu
yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa
ajal memanggil dulu
Sebelum
sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku
jauh di pulau
Kalau
‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
1. Lapis
Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara :
suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu:
suara frase dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua
satuan bunyi yang berdasarkan konfensi bahasa tertentu, disini bahasa
Indonesia. Hanya saja, dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah di tujukan
pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa “ atau khusus, yaitu
yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni.
2. Lapis
Arti (Units of Meaning )
Satuan terkecil berupa fonem. Satuan fonem
berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompokmkata, kalimat,
alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
Dalam bait pertama, “cintaku jauh di pulau”
berarti : kekasihku berada di pulau yang jauh. “gadis manis, sekarang iseng
sendiri” : kekasihku si aku maaih gadis dan manis. Karena si aku tidak ada, ia
berbuat iseng menghabiskan waktu sendirian. Dapat juga berarti bahwa si gadis
dengan sangat menantikan si aku. Dalam bait kedua: untuk menuu kekasihnya itu
si aku naik perahu dengan lancar pada waktu terang bulan dan ia membawa buah
tangan untuk pacarnya (ole-ole. Anginpun membantu (angin buritan), laut terang:
tidak berkabut. Meskipun demikian si aku tidak akan sampai pada pacarnya.Bait
ketiga: di air laut yang terang dan di angin yan bertiup kencang itu,menurut
perasaannya secara sepenuhnya (di perasaan penghabisan) semuanya serba cepat,
laju tanpa halangan (baris ke 1,2), namun ajal (kematian) telah memberi isyarat
akan mengakhiri hidup si aku.Bait ke empat menunjukkan bahwa si aku putus asa.
Meskipun ia sudah bertahun-tahun berlayar sehingga perahu yang di naiki akan
rapuh terkena air garam. (baris ke 1,2), namun kematian telah menghadang dan
mengakhiri hidupnya sebelum ia sempat bertemu, bercintaan dengan
kekasihnya.Bait ke lima karena itu, kekasih si aku yang berada di pulau yang
jauh itu akan sia-sia menanti si aku dan mati menghabiskan waktu sendiri.
Sesungguhnya sajak itu berupa kiasan. Pacar si
aku, gadis manis itu, adalah kiasan cita-cita si aku yang menarik, tetapi sukar
dicapai, harus melalui laut yang melambangkan perjuangan yang penuh rintangan,
bahkan menentang maut. Karena itu, sebelum si aku mencapai cita-citanya, ia
telah meninggal.
3. Lapis
Ketiga
Lapis satuan arti menimbulkan lapis ketiga,
berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang,
Objek-objek yang dikemukakan: cintaku, gadis
manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal.
Pelaku atau tokoh: si aku. Latar waktu: waktu
malam terang bulan. Latar tempat: laut yang terang (tidak berkabut), berangin
yang kencang (angin buritan).
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang
merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan
jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur
ceritanya (alur); seperti berikut.
Gadis manis, kekasih si aku berada sendirian di
sebuah pulau yang jauh. Si aku ingin menemuinya, ia naik perahu dengan laju
pada waktu malam terang bulan. Laut tak berkabut, angin buritan meniup dengan
kencang. Akan tetapi, dalam keadaan serba lancar itu, si aku merasa bahwa ia
tidak akan sampai pada kekasihnya karena maut yang lebih dulu menghadang. Bahkan
setelah bertahun-tahun berlayar hingga perahu yang dinaiki pun akan rapuh
(rusak) kena air laut bertahun-tahun. Karena itu, kalau si aku tidak sampai ke
tempat kekasihnya karena sudah meninggal sebelum sampai, maka gadis kekasihnya
akan mati sia-sia menghabis-habiskan waktu sendirian.
4. Lapis
Keempat
Lapis “dunia” yang tak usah dinyatakan, tetapi
sudah implisit, tampak sebagai berikut:
Dipandang dari susut pandang tertentu kekasih
si aku itu menarik, kelihatan dari kata-kata: gadis manis (bait pertama). Pada
bait kedua, baris kesatu dan kedua menyatakan suasana yang menyenangkan dan si
aku penuh kegembiraan berlayar di laut yang terang pada waktu terang bulan.
Baris keempat menyatakan kegelisahan si aku yang merasa bahwa usahanya sia-sia.
Bait ketiga, baris ke-1, 2 menyatakan segalanya
berjalan dengan baik, perahu berlayar dengan laju. Baris ke-3, 4 menyatakan si
aku telah dihadang kematiannya.
Bait keempat dan kelima menyatakan kegagalan si
aku untuk mencapai gadisnya (cita-citanya) meskipun segala daya upaya telah
dilakukan (sudah bertahun-tahun ditempuh dan perahu pun hampir hancur: kan
merapuh). Sebelum mencapai cita-citanya (gadisnya) si aku sudah mati.
5. Lapis
Kelima
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang
menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini lapis itu berupa ketragisan
hidup manusia; yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan, disertai sarana yang
cukup, bahkan segalanya telah berjalan dengan lancar, tetapi (seringkali)
manusia tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya (yang dicita-citakannya)
karena maut telah lebih dahulu menghadang. Dengan demikian, cita-cita yang
hebat, menggairahkan, akan sia-sia saja.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
No comments:
Post a Comment