KRITIK
NOVEL “ RONGGENG DUKUH PARUK” KARYA AHMAD TOHARI MENGGUNAKAN PENDEKATAN MIMETIK
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kritik
Sastra
Dosen
Pengampu :U’um Qomariah, S.Pd.,M.Hum.
Bayu Aji Nugroho, S.S.
Disusun oleh :
Nuziyati (2101412045)
Dian
Agustiyani (2101412066)
Lusi
Fatma Sari (2101412067)
Rondiyah (2101412072)
Reza
Fahluzi S (2101411074)
Dwi
Putra W.S.A.P (2101411102)
Rombel 02
BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
2014
PRAKATA
Mengucapkan
puji syukur kepada Allah Swt atas selesainya makalah yang berjudul KritikNovel
“ Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari Menggunakan Pendekatan Mimetik.
Dalam penulisan makalah
ini, tidak akan terselesaikan tanpa bimbingan, arahan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Ibu U’um Qomariyah dan Bapak Bayu Aji
Nugroho atas bimbingan dalam materi mata kuliah Kritik Sastra
2. Teman
seperjuangan atas segala partisipasinya.
3. Seluruh
pihak yang membantu penulisan makalah ini.
Dalam
penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis
berharap kritik dan saran dari pembaca. Penulis juga berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Semarang,
23 Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
II
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
III
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 2
1.3 Tujuan Makalah............................................................................. 2
1.4 Manfaat Makalah.......................................................................... 2
IV
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
2.1 Landasan Teori........................................................................... 3
2.2 Kritik Novel “ Ronggeng Dukuh Paruk”................................... 5
V BAB III PENUTUP...................................................................................... 14
3.1 Simpulan..................................................................................... 14
VI DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 15
LAMPIRAN ................................................................................................. 16
Sinopsis Novel “ Ronggeng Dukuh
Paruk”................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi
pengantar serta refleksinya terhadap gejala-gajala sosial di sekitarnya
(Ismanto, 2003: 59). Oleh karena itu, kehadiran karya sastra merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat. Pengarang mencoba menghaslkan pandangan
dunianya tentang realitas sosial di sekitarnya untuk menunjukkan sebuah karya
sastra berakar pada kultur tertentu dan masyarakat tertentu.
Di dalam sastra ada sebuah hubungan yang sangat erat
antara apresiasi, kajian dan kritik sastra karena ketiganya merupakan tanggapan terhadap karya sastra. Saat pembaca sudah mampu
mengapresiasi sastra, pembaca mempunyai kesempatan untuk mengkaji sastra.
namun, hal ini tak sekadar mengkaji. Karena mengkaji telah menuntut adanya
keilmiahan. Yaitu adanya teori atau pengetahuan yang dimiliki tentang sebuah
karya. Saat Apresiasi merupakan tindakan menggauli karya sastra, maka mengkaji
ialah tindakan menganalisis yang membutuhkan ilmu atau teori yang melandasinya.
tentang penjelasan mengkaji seperti yang diungkapkan oleh Aminudin (1995:39) kajian (sastra) adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur
dan hubungan antar unsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan,
teori, dan cara kerja tertentu.
Mengkritik novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan
pendekatan mimetik merupakan hal menarik karena novel ini menceritakan kisah
seorang ronggeng yang tinggal disebuah desa miskin dan tepencil. Dengan kebudayaan
yang masih sangat kental.
Pendekatan yang kami gunakan untuk mengkritik novel
Ronggeng Dukuh Paruk adalah pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan
kajianya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra
(Abrams, 1981: 189). Untuk itu dalam makalah ini
akan dibahas mengenai kritik novel “Ronggeng Dukuh Paruk” menggunakan
pendekatan mimetik.
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirancang rumusan
masalah sebagai berikut:
1.2.1
Apa Pendekatan Mimetik itu!
1.2.2
Jelaskan kritik mimetik novel Ronggeng
Dukuh Paruk!
Tujuan penulisan
makalah adalah :
1.3.1
Mengetahui pengertian pendekatan mimetik.
1.3.2
Mengetahui kritik mimetik novel Ronggeng
Dukuh Paruk.
Adapun
manfaat makalah :
1.4.1
Makalah ini dapat dijadikan sebagai media pembelajaran memahami karya
sastra yaitu novel Ronggeng Dukuh Paruk menggunakan pendekatan mimetik.
1.4.2
Makalah ini dapat menjadi referensi
untuk pembelajaran kritik sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1Landasan Teori
Pendekatan mimetik adalah
pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan kajianya terhadap hubungan karya
sastra dengan kenyataan di luar karya sastra (Abrams, 1981: 189).
Sastra sebagai dokumen sosial. Kenyataan manusia dalam kehidupan
sehari-hari adalah kenyataan yang telah ditafsirkan sebelumnya dan yang
dialaminya secara subjektif sebagai dunia yang bermakna dan kohern. Hubungan
antara seni dan kenyataan merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung,
yang ditentukan oleh konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, dan konvensi
sastra. (Teew, 1984: 224-229).
Pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya
anggapan bahwa puisi merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan
kehidupan manusia di semesta raya ini. Sasaran yang dieliti adalah sejauh mana
puisi merepresentasikan dunia nyata atau sernesta dan kemungkinan adanya
intelektualitas dengan karya lain. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam
sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga. Mimesis tidak mungkin tanpa
kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan perkaitan antara
keduanya dapat berbeda menurut kebudayaannya, Menurut jenis sastra. Zaman
kepribadian pengarang, tetapi yang satu tanpa yang lain tidak mungkin dan,
catatan terakhir perpaduan antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan
benar untuk penulis sastra. Tak kurang pentingnya untuk pembaca, dia pun harus
sadar bahwa menyambut karya sastra mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas
mimetik dengan kreatif mereka. Pemberian makna pada karya sastra berarti
perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dua kenyataan dan dunia
khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dan kenyataan kehilangan sesuatu yang
hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Pembaca sastra
yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi
manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala
keserbakekurangannya atau lebih sederhana berkat seni, sastra khususnya, manusia
dapat hidup dalam perpaduan antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya
hakiki untuk kita sebagai manusia.
Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi
oleh pandangannya mengenai konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana
pandangannya mengenai seni. Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap
suatu hal merupakan sesuatu yang sempurna dan tidak dapat berubah. Ide
merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia. Ide oleh manusia hanya dapat
diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau disentuh dengan panca
indra. Ide bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah, misalnya
ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya
satu tetapi dapat ditransformasikan dalam bentuk segitiga yang terbuat dan kayu
dengan jumlah lebih dan satu idea mengenai segitiga tersebut tidak dapat
berubah tetapi segitiga yang terbuat dan kayu bisa berubah (Bertnens l979:13).
Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea
tersebut, Plato sangat memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang
berjudul Republik bagian kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan
dan negerinya. Karena menganggap seniman dan sastrawan tidak berguna bagi
Athena, mereka dianggap hanya akan meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan
tersebut muncul karena mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya
akan menghasilkan khayalan tentang kenyataan dan tetap jauh dan ‘kebenaran’.
Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut Plato hanya merupakan duplikat
dari ide, sehingga hal tersebut tidak akan pernah sesempurna bentuk aslinya
(dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi Plato seorang
tukang lebih mulia dan pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang membuat
kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam bentuk
yang dapat disentuh panca indra, sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak
kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang),
mereka oleh Plato hanya dianggap menjiplak dan jiplakan (Luxemberg:16).
Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide
pendekatan. Tidak pernah menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu
menyarankan tataran yang lebih tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan
sastrawan tidak mungkin mengacu secara langsung terhadap dunia ideal.
(Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa seni dan sastra hanya
mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah disebutkan di
muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka. Plato mengatakan bila seni
hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew.
1984:221).
2.2Kritik Novel “ Ronggeng Dukuh Paruk”
Mengkritik novel Ronggeng Dukuh
Paruk menggunakan pendekatan mimetik berarti mengaitkan kehidupan yang
digambarkan dalam novel tersebut dengan kehidupan sehari-hari.
Terdapat beberapa kesamaan fenomena
yang terjadi di dalam novel dengan kehidupan sehari- hari antara lain :
(1) Tradisi
Seorang Rongeng berguru pada dukun Ronggeng
Untuk menjadi
seorang ronggeng seseorang harus berguru pada dukun ronggeng. Dukun ronggenglah
nantinya yang akan membimbing seorang calon ronggeng hingga dia sah menjadi
seorang ronggeng. Seorang dukun ronggeng menemani seorang ronggeng dan yang
mempin segala macam ritual penobatan seorang ronggeng.
Dalam novel juga
ditemui hal demikian. Srintil berguru pada Kartareja. Kakeknya menitipkannya
berguru untuk menjadi ronggeng hebat. Kartareja sudah berpuluh-puluh tahun
hidup menjadi seorang ronggeng.
Hal tersebut terlihat pada kutipan
paragraf sebagai berikut:
Keesokan harinya
Sakarya menemui Kartareja. Laki- laki yang hampir sebaya ini secara turun-
temurun menjadi dukun ronggeng di Dukuh Paruk. Pagi itu Kartareja mendapat
kabar gembira. Dia pun sudah bertahun- tahun menunggu kedatangan seorang calon
onggeng untuk diasuhnya. Belasan tahun sudah perangkat calungnya tersimpan di
para- para di atas dapur. Dengan adanya laporan Sakarya tentang Srintil, dukun
ronggeng itu berharap bunyi calung akan kembali terdengar semarak di dukuh
Paruk. (Ronggeng Dukuh Paruk halaman 16)
Dari penjelasan
tersebut terlihat bagaimana dalam fenomena sehari- harinya seseorang untuk
menjadi ronggeng juga harus berguru pada seorang dukun. Kenyataan yang sama
juga masih terjadi di Banyumas. Untuk menjadi seorang ronggeng masyarakat
Banyumas harus berguru pada seorang dukun ronggeng.
(2) Ronggeng
diangap memiliki kekuatan Magic (Supranatural)
Seorang ronggeng
dianggap memiliki kekuatan magic saat menari. Dibawah alam sadarnya. Pada saat
menari gerakannya ringan dan seperti menari tanpa kesadaran. Dipercaya ada kekuatan
magic di sana. Perhatikan kutipan- kutipan berikut:
Ketika Srintil menyanyikan lagu
yang sulit- sulit, yang pasti belum pernah dipelajarinya, bulatlah hati
Kartareja. Dia harus percaya bahwa Srintil mendapat indang. Kartareja percaya
penuh, Srintil dilahirkan di dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secamenggala
dengan tugas menjadi ronggeng. Penampilan Srintil yang pertama, membuat
kertareja mengangguk dan menggangguk.
(Ronggeng Dukuh Paruk halaman 20)
Terlihat
bagaimana dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk dijelaskan bahwa untuk menjadi
ronggeng seorang ronggeng terlebih dahulu mendapat kekuatan dari ruh indang
ronggeng. Hal tersebut terlihat juga terlihat dalam kehidupan sehari- hari. Hal
tersebut ada di dalam sebuah pernyataan di sebuah media likal saat membahas
mengenai liku- liku kehidupan ronggeng di era modernisasi seperti ini.
Terlihat
bagaimana ada persamaan konsep bahwa seorang ronggeng memilki persamaan dengan
dunia lain yang berada di luar dirinya sendiri. Seperti halnya fenomena magic
yang membuat daya tarik tersendiri bagi seorang ronggeng dari penggemarnya,
khususnya laki- laki.
(3) Motivasi menjadi ronggeng karena faktor
ekonomi
Salah satu
alasan seseorang memutuskan diri menjadi seorang ronggeng adalah karena
tuntutan dan himpitan faktor ekonomi. Karena keadaan ekonomi yang serba sulit,
seseorang memilih menjadi seorang ronggeng. Kehidupan seorang ronggeng memang
meyakinkan dan menjanjikan kemapanan. Perhatikan kutipan berikut:
Entah sampai
kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemelaratannya,
keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah
cabul menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit
kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan
di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi amparan sawah terbatas kaki langit, tak
seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil
sekalipun. Dukuh Paruk yang karena kebodohannya tak pernah menolak nasib yang
diberikan alam.
Dari kutipan di
atas terlihat jelas bagaimana kemelaratan yang dialami oleh Srintil dan warga
Paruk lainnya.Perhatikan kutipan berikut :
“Lihat ... baru beberapa bulan
menjadi ronggeng sudah ada gelang emas di tanganSrintil. Bandul kalungnya
sebuah ringgit emas pula,” kata seorang perempuan penjual sirih.
(Ronggeng Dukuh Paruk, 2009: 81).
Dari kutipan di
atas jelas bagaimana perubahan dalam hidup Srintil. Dia yang memperoleh
kemapanan setelah sah menjadi seorang ronggeng. Hidupnya seratus persen
berubah. Dari yang tidak punya apa- apa menjadi kaya raya.
(4) Ronggeng
adalah hiburan yang dipentaskan untuk acara warga
Acara ronggeng
di dalam novel ronggeng Dukuh Paruk dipentaskan untuk acara warga. Srintil
melakukan pentas untuk beberapa acara warga. Seperti acara pernikahan, khitan,
juga acara warga formal. Perhatikan kutipan berikut:
“Kang Sakarya,” Ujar Pak Ranu.
“bukan saya yang hendak punya hajat, melainkan panitia perayaan Agustusan”
“Agustusan dengan mementaskan
ronggeng?” (Ronggeng Dukuh Paruk halaman 161)
Tampak bahwa ronggeng dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk dipentaskan untuk acara- acara warga. Hal yang sama juga
terlihat dalam kehidupan sehari- hari. Berikut, dari sebuah artikel Koran
Nasional.
Peronggeng amen dari Grup Ronggeng
Girimukti, Padaherang, Ciamis, Jawa Barat menari bersama penonton di halan
balai Desa Sindangasih, Banjarsari, Ciamis, Jumat, (12/2). Di bawah naungan
awan-gemawan musim kemarau di Kampung Kalenanyar, Kabupaten Cilacap, Jawa
Tengah, tujuh penari itu menggoyang tubuh mereka di atas tanah becek yang
ditaburi kapur. Para ronggeng menari tanpa alas kaki.
Udara pukul 10 pagi gerah saat suara gamelan dan tarian ronggeng mulai hadir utuh di halaman rumah Nasum (50), keluarga yang berhajat. Orang-orang berangsur berkumpul di rumah petani penyadap kelapa dari Desa Rawaapu Kecamatan Patimuan, Cilacap, itu yang tengah melaksanakan nadar khitan untuk anak lelakinya, Faisal (9).
Udara pukul 10 pagi gerah saat suara gamelan dan tarian ronggeng mulai hadir utuh di halaman rumah Nasum (50), keluarga yang berhajat. Orang-orang berangsur berkumpul di rumah petani penyadap kelapa dari Desa Rawaapu Kecamatan Patimuan, Cilacap, itu yang tengah melaksanakan nadar khitan untuk anak lelakinya, Faisal (9).
Dari penjelaasan tersebut jelas
terlihat bahwa di dalam kenyataan sehari- hari juga, ronggeng dipentaskan untuk
acara warga. Dalam kutipan di atas acara khitanan.
(5) Untuk
menjadi seorang ronggeng harus melewati ritual penobatan
Untuk menjadi
seorang ronggeng seseorang harus melewati upacara penobatan. Upaca penobatan
seseorang untuk menjadi ronggeng. Sebelum genap melakukan ritual penobatan yang
dirancang dan ditetapkan oleh sang dukun ronggeng yang ditunjuk warga setempat
untuk mendidik calon ronggeng.
Dalam
novel ronggeng Dukuh Paruk ada juga ritual bagaimana menobatkan seorang
ronggeng sebagai syarat diwisudanya seorang ronggeng.
1. Upacara
Pemandian
Acara selanjutnya yang harus
ditempuh oleh seorang ronggeng adalah pemandian. Srintil diarak dan dimandikan
di makam leluhur masyarakat Dukuh Paruk. Ki Secamenggala yang makamnya
dikeramatkan oleh warga Dukuh Paruk. Dia yang dianggap sebagai leluhur warga
Dukuh Paruk. Srintil harus melewati acara dimandikan, diarak ke makam Ki
Secamanggala dan kemudian di sana dia akan menari diiringi tetabuan. Srintil
menari di dekat pusara Ki Secamenggala. Srintil menari diiringi tetabuhan
Calung dan disaksikan oleh warga masyarakat Paruk.
2. Pementasan
di atas Panggung
Selanjutnya ritual yang harus
dijalani adalah seorang calon ronggeng melakukan pentas pertama di depan
masyarakat umum. Srintil didandani layaknya seorang rongeng. Diiringi musik
Calung Srintil menari bak seorang ronggeng profesional. Masyaraakat yang
menyaksikan diibuat terkagum oleh penampilannya.
3. Ritual Bukak Klambu
Masih ada satu ritual sakral
lagiyang harus ditempuh Srintil agar dia sempurna menjadi seorang ronggeng.
Setelah melewati ritual ini Srintil diperbolehkan mendapat bayaran atau saweran
saat manggung. Ritual itu tidak lain adalah bukak klambu. Bukak klambu adalah
semacam sayembara, terbuka bagi laki- laki manapun. Yang disayembarakan adalah
keperawanan calon ronggeng. Itu satu hal besar yang menjadi dilema di hati
Srintil. Srintil terlanjur terpaut pada Rasus. Lelaki sedesanya yang telah
membuat hatinya terpaut. Tidak hanya sampai di situ, Srintil harus rela
membiarkan cintanya menguap bersama angin. Pengorbanan yang harus diberikannya
untuk dapat menjadi ronggeng. Srintil yakin ini bukan hal yang mudah bagi
dirinya dan bagi perempuan- perempuan lain di luar sana. Keperawanan adalah
mahkota seorang perempuan. Harta yang paling berharga bagi seorang perempuan.
Demikian terlihat jelas apa yang harus dijalani oleh Srintil sebelum kemudian
diangkat menjadi ronggeng. Hal tersebut, ritual penobatan juga harus
dilaksanakan oleh Ronggeng yang ada di dalam kehidupan sehari- hari untuk dapat
diwisuda sebagai seorang ronggeng. Perhatikan kutipan berikut:
Seorang dukun datang ke panggung
pertunjukan menyalakan dupa untuk menerangi penobatan ronggeng, datang calon
ronggeng membawa dupa. Bagian kedua, mulai terjadi kontemplasi antara dunia
batin sang ronggeng dengan kekuatan alam yang magis-religius. Ronggeng laksana
ruh kehidupan, ronggeng laksana hidup itusendiri, yang tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan masyarakat Banyumas yang tradisional-agraris dengan selaksa
rahasia semesta yang tak terjawab. Bagian ketiga, mereka telah memulai kehidupan
baru sebagai ronggeng. Mereka menari dan menari. Mereka menikmati tariannya.
Mereka menikmati nyanyiannya.Mereka hidup dan terushidup. Tak pernah mati dan
tak akan pernah mati. Bagian keempat, penari banceran datang dan menari bersama
ronggeng. Mereka semua bersuka ria, mengaktualisasikan dirinya sebagai
sejatining lanang lan sejatining wadon. Keindahan-keindahan inderawi mereka
rasakan bersama lewat lewaning jejogedan, kumrumpyunging tetabuhan calung dan
bercengkerama lewat lantunan tembang-tembang asmara yang keluar dari
bibir-bibir mungil penari ronggeng.
Dari keduanya terlihat bahwa antara
gambaran dalam cerpen dan kehidupan nyata sama- sama memiliki aturan untuk
menobatkan seorang ronggeng agar bisa manggung.
(6)
Penggunaan mantra dan jampi- jampi
Hal yang terlihat dominan disini adalah
penggunaan mantra dan jampi- jampi dalam berbagai hal. Dalam ronggeng Dukuh
Paruk misalnya, dalam memulai beberapa ritual penobatan banyak digunakan mantra
dan jampi- jampi. Perhatikan kutipan berikut:
Uluk- uluk perkutut
manggung.
Teka saka ngendi
Teka saka tanah sabrang
Pakanmu apa,
Pakanmu madu tawon
Manis madu tawon,
Ora manis kaya putuku
Srintil
(Ronggeng
Dukuh Paruk halaman 18)
Demikian
adalah mantra yang di ucapkan oleh Nyai Kartareja sebagai mantra pekasih ke
ubun- ubun Srintil.
Perhatikan
kutipan berikut:
Niyatingsun
matak aji pamurung
Hadi
aing tampean aing cikaruntung Nantung
Ditaburan
boeh sana, manci rasa marang
Srintil
marang Rasus
Kene
wurung kana wurung, pes mimpes dening
Eyang
Secamenggala
Pentil
alam cucuk layu, angen sira bungker
Si
Srintil si Rasus
Ker
bungker kersane eyang Secamenggala
Ker
bungker, ker bungker kersane sing Murbeng
Dumadi
(Ronggeng Dukuh Paruk halaman 116)
Itu adalah mantra pemutus cinta anatara Srintil dan Rasus. Hal tersebut juga terjadi pada kehidupan sehari- hari. Penggunaan mantra juga masih banyak digunakan. Khususnya yang memiliki hubungan dengan ronggeng. Perhatikan kutipan berikut:
Sulasih
sulangjana kukus menyan ngundang dewa
Ana
dewa ndaning sukma widadari tumuruna
Runtung-runtung
kasanga sing mburi karia lima
Leng-leng
guleng guleng kencana katon
Gelang-gelang
nglayoni, nglayoni putria ngungkung
Cek-incek
raga bali rogrog asem kamilaga
Reg-regan
rog-rogan Reg-regan rog-rogan
Kembang
duren bur kolang kalingan mega riyem-riyem
Ingkang
bathikane lonthang, ketrung-kentrung si rama sira nglilira
Kembang
kapas embok emas ditagih utange beras
Ho-oh
iyo ho-oh iyo iyo iyo
Demikian
adalah mantra pengasih yang masih banyak digunakan oleh ronggeng- ronggeng
Banyu Mas.
(7)
Calung sebagai alat yang mengiringi
ronggeng
(8)
Calung adalah alat musik tradisional
asli Banyumas. Calung terbuat dari bambu. Semacam kulintang dan angklung yang
juga dibuat dari bahan bambu. Pada novel Ronggeng Dukuh Paruk alat musik yang
digunakan untuk mengiringi adalah Calung.
Perhatikan kutipan
berikut:
Kepada tukang gendang,
Kartareja memberi isyarat. Detik berikutnya bergema irama calung yang dikembari
tepuk tangan hampir semua warga Paruk.
(Ronggeng Dukuh Paruk
halaman 19)
Hal demikian juga
terjadi di dalam kehidupan sehari- hari. Bagaimana dalam realitanya, calung
juga digunakan untuk mengiringi tarian ronggeng. Perhatikan kutipan berikut:
Ronggeng kini menjadi
episode lanjutan periode tanpa beban bagi lengger Banyumas yang sempat mati
suri saat G30 S PKI meletus pada 1965. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
--lembaga di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI) di bidang seni dan budaya--
telah menjadi bumerang untuk para seniman. Banyak penari dan pemain calung yang
tak tahu apa-apa menjadi korban kebengisan politik hanya karena grup lengger
mereka dinaungi Lekra.
Terlihat bagaimana
adanya kesamaan alat musik yang digunakan, baik dalam novel ronggeng dukuh paruk maupun dalam
kehidupan sehari-hari.
Novel karya
Ahmad Tohari ini adalah kemampuan penulis dalam menggambarkan kondisi sosial
dan kondisi lokasi tempat cerita berlangsung. Karena Ahmad Tohari adalah
masyarakat Banyumas maka dia membuat novel Ronggeng Dukuh Paruk, Dukuh Paruk
adalah sebuah pedukuhan di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Membaca novel ini akan membuat pembaca serasa
ikut terlibat dalam kehidupan masyarakat Dukuh Paruk di tahun 50-an hingga
60-an. Melalui cerita tentang Ronggeng, Ahmad Tohari membuka mata pembaca
mengenai karakter masyarakat pedesaan Indonesia pada masa itu. Dan satu hal
yang bisa saya cermati dari cerita Dukuh Pruk ini, kemiskinan fisik selalu
diikuti juga dengan kemiskinan moral.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Simpulan
dari kritik novel Ronggeng Dukuh Paruk bahwa novel ini mempunyai cerita bagus,
banyak hal yang dapat dikaitkan didalam novel ini dengan kehidupan sehari-hari,
dapat terlihat masih melekatnya tradisi yang dilestarikan, kepercayaan tentang
hal-hal yang dianggap tabuh masih ada. Bahwa suatu kebudayaaan patut
dilestarikan. Perjuangan anak Dukuh Paruk terhadap keaadaan dan nasib untuk
merubah kehidupanya agar menjadi lebih baik dengan penuh semangat
DAFTAR PUSTAKA
http://id/wikipedia.org/wiki/mimetik
diambil pada tanggal 18 Mei 2014, pukul 20:20 WIB.
LAMPIRAN
Sinopsis
Ronggeng Dukuh Paruk
Novel
buah karya Ahmad Tohari (1948) ini menceritakan tentang seluk beluk kehidupan
seniman ronggeng di daerah Jawa (Dukuh Paruk). Meskipun hanya menyebutkan
tempat sebuah desa dengan nama Dukuh Paruk, namun diidentifikasikan sebagai
sebuah tempat di Jawa Tengah.
Tokoh-tokoh
cerita novel ini adalah Srintil; seorang gadis remaja yatim piatu yang dianggap
sebagai titisan dari Ki Secamenggala. Dialah yang disebut ronggeng Dukuh Paruk.
Rasus; seorang pemuda yang mencoba mengangkat harkat dan martabat rakyat Dukuh
Paruk. Ia berusaha melawan hukum adat, terutama hukum adat tentang ronggeng.
Sukarya; pasangan suami istri yang merupakan kakek Srintil. Mereka sangat
bangga dengan adanya ronggeng. Kertareja; seorang dukun di Dukuh Paruk. Dower
dan Sulam; dua orang pemuda Dukuh Paruk yang berlomba-lomba mendapatkan Srintil
dengan cara menyuap Ki Kertareja.
Dukuh
Paruk seakan-akan mendapatkan anugerah berupa roh baru ketika Srintil, gadis
yatim piatu berusia 11 tahun, dinobatkan menjadi ronggeng. Seluruh penduduk
desa itu menyambut dengan penuh kegembiraan. Menurut mereka, citra Dukuh Paruk
sebagai Dukuh Ronggeng akan kembali menggema. Pedukuhan yang terkenal dengan
kering kerontang ini nantinya akan diramaikan lagi dengan kedatangan tamu dari
berbagai penjuru desa dan berseliwerannya uang yang dilemparkan ke arah
ronggeng Srintil, ramainya seloroh-seloroh cabul, serta terlihatnya pemandangan
sikut-menyikut antara pesaing yang berusaha merebut ronggeng Srintil atau
suasana lainnya yang menggembirakan. Selain itu, bau harum keramatnya Ki
Secamenggala akan kembali menyelimuti Dukuh Paruk.
Orang
yang paling merasa berbahagia dengan penobatan Srintil sebagai ronggeng adalah
Sukarya dan istrinya yang merupakan kakek dan nenek gadis itu. Usaha mereka
mengasuh Srintil, sejak kedua orang tua Srintil meninggal dunia karena
keracunan tempe bongkrek sebelas tahun yang lalu, tidak sia-sia. Yang penting,
tugas mereka untuk menjadikan Srintil sebagai seorang calon ronggeng dapat
terlaksana. Bahkan, direstui oleh keramat dukuh ronggeng, Ki Secamenggala.
Seorang
pemuda bernama Rasus justru merasa kecewa dan sedih mendengar penobatan Srintil
karena ia sangat mencintai Srintil, kekasihnya itu. Apabila Srintil menjadi ronggeng,
berarti gadis itu menjadi milik semua orang. Setiap orang akan bebas meniduri
Srintil karena memang begitulah kehidupan seorang ronggeng. Selain itu, sebagai
calon ronggeng, Srintil harus menyerahkan keperawanannya kepada Ki Kertareja.
Rasus juga telah mengetahui pemuda yang akan memenangkan sayembara yang akan
diadakan oleh Ki Dukuh Kertareja. Untuk memenangkan sayembara itu, mereka telah
menyuap Ki Kertareja. Sulam menyembahkan seringgit uang emas, sedangkan Dower
menyerahkan seekor kerbau dan dua rupiah uang perak kepada Ki Kertareja.
Pada
suatu malam ketika Kertareja menobatkan Srintil sebagai ronggeng Dukuh Paruk,
Rasus memperhatikan kekasihnya itu dari kejauhan. Kekasihnya itu dibawa ke
makam Ki Secamenggala dan dimandikan di depan makam tersebut. Setelah itu,
Srintil menjadi budak kelambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada si Dower
dan si Sulam, sebagaimana telah ditentukan oleh Kertareja. Tampak, kedua pemuda
itu bertengkar di samping rumah Dukun Kertareja untuk menentukan siapa di antara
mereka yang berhak pertama kali meniduri Srintil. Ketika Rasus sedang
menyaksikan pertengkaran kedua pemuda tersebut secara diam-diam, Srintil datang
menghampirinya dan ia minta pemuda itu untuk menggaulinya karena ia sangat
benci Dower dan Sulam. Rasus pun memenuhi permintaan itu kemudian pemuda itu
memutuskan untuk meninggalkan Dukuh Paruk. Ia meninggalkan gadis yang dicintai
dan sekaligus dibencinya karena kekasihnya itu telah menjadi ronggeng. Ia
kemudian mengasingkan diri di desa Dawuan. Ia mencoba menyingkirkan bayangan
Srintil. Bahkan ketika gadis itu meminta ia untuk menjadi suaminya, ia menolak.
Dalam hatinya timbul kerelaan untuk membiarkan Srintil menjadi milik banyak
orang dan menjadi kebanggan Dukuh Paruk.
Suatu ketika Srintil masuk dalam lingkaran Politik yaitu
pada saat gegernya pemberontakan oleh PKI, sehingga menyebabkan ia disalahkan
dan masuk ke penjara selama dua tahun. Setelah keluar dari tahanan, lambat laun
ia merasakan kebahagiaan kembali setelah ia mengenal Bajus, ia ingin menjadi
wanita somahan. Tetapi ternyata Bajus telah menipu dengan segala kebaikannya,
dan berpura-pura pada Srintil. Hingga suatu ketika, Bajus menyerahkan Srintil
pada Majikannya, Blengur. Ketika itu, Srintil tak dapat menahan semua
penderitaannya lagi, tak dapat menguasai dirinya sendiri dengan
ketidakpercayan-ketidakpercayaan serta kesedihan yang mendalam, hingga membut
dirinya menjadi gila.
No comments:
Post a Comment