11/02/2015

CerpenKU "Kesalahan Sebuah Pepaya"




KESALAHAN  SEBUAH PEPAYA
Karya : Dwi Putra

           
“Tok...tok...tokkkkk”
Suara palu berbunyi 3x. Ketuk palu dihentakkan keras pada meja hijau itu.Terasa sangat berdenging di telinga . Semua orang terhentak tak percaya. Tercengang bingung tak berkata-kata. Hati terasa sakit mendengarnya. Air mata mulai bercucuran menghambur di hampir setiap yang menyaksikan itu.
            Ya,benar. Hakim telah mengetukkan palu. Persidangan telah selesai dilangsungkan dengan keputusan yang memberatkan Suntari. Delapan bulan enam hari, itulah hukuman yang dibacakan oleh hakim di persidangan .Keputusan yang tak dapat diubah lagi dalam pasalnya. Semua orang tersentak, benar-benar tak percaya akan hal itu.
            Dalam sidang itu Suntari hanya terdiam, kata-kata pun seolah sulit sekali terucap dari mulutnya. Hanya air mata yang terus mengalir tanpa henti membasahi kerutan-kerutan diwajahnya. Hatinya membeku, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Seperti hanya pasrah menghadapi semua ini. Kini hanya hukuman penjara yang sedang membias dalam pikirannya. Hukuman delapan bulan penjara itu memenuhi isi otaknya.Membuat dia terpaku kaku didepan hakim yang mengadilinya.
            ”Hakim gobloook...!! Tolol... Tidak tahu maluuuu.......!!!!! Liat! Liat!!Anda punya mata...???? Dia orang tua... Tega kau menghukumnya? TEGA? Berapa kau dibayar, HAH?”seseorang berdiri dan mengumpat keras. Sambil mata melotot, menghujat keputusan tak pantas itu.
            Seluruh  orang  yang  menyaksikan itu merasakan kepedihan,kemarahan yang sama pula. Mereka kecewa atas keputusan hakim yang memberatkan orang tua itu.
            ”INI TIDAK ADIL”salah seorang warga kembali mengumpat penuh kekesalan.
            “Obrak-abrik… buat berantakkan tempat ini. Keadilan harus ditegakkan! Harus!!”semua orang berdiri dari tempatnya. Tangan mulai dihentak-hentakkan pada meja-meja persidangan.Kegaduhanpun mengiringi langkah si terpidana.
            Itulah suara terakhir yang didengar Suntari sebelum dirinya jatuh pingsan dalam ruang persidangan yang memanas itu.
Hanya selang beberapa menit saja, Suntari langsung setengah sadar dari pingsannya. Dengan sorotan matanya yang sayu, dia masih ingat kejadian beberapa menit yang lalu. Mata sayu itu sekaligus kosong dan perih, karena ingatan beberapa menit yang lalu itu mengantarkan ingatan Suntari  akan kejadian tragis seminggu yang lalu yang mengantarkan dirinya sampai di meja hijau.
Kerumunan orang-orang di sekitar tidak lagi terlihat sebagai kerumunan orang-orang dimata sayu Suntari, melainkan yang tergambar adalah masa lalunya,kesalahannya...
            Dalam keheningan senja yang menyalakan parade keemasan mentari, dinding-dinding rumah itu bergetar-getaran yang layaknya gempa berkekuatan 6,5 skala richter yang mengguncang tanah dan lautan. Ya, seorang anak kecil terlihat sedang menggigil tepat di sisi dinding geribik itu. Namanya adalah Mariyam, anak gadis dari Suntari. Tubuh Mariam gemetar, kedingingan yang menerpa tubuhnya begitu amat dirasakan, terlebih perutnya kosong tanpa ada makanan yang dicerna oleh usus-usus lembutnya dan cacing yang meronta-ronta. 
            Tangannya ia lingkarkan pada perut itu,seperti sangat terbelit, menahan sekuat tenaga keperihan yang sedang ia derita. Ya, sedari kemarin malam dirinya tidak memakan sesuatu apapun.Satu biji beras pun tak melewati tenggorokannya. Bukan tidak mau, melainkan tidak ada satupun makanan yang dapat ia makan. Hanya air sumur yang berwarna kekuningan  yang menjadi pereda rasa sakitnya, ditambah doa dan harapan yang terus mengalir dari bibir mungilnya.
            ”Sakit.., Ya Allah. Tolong berikan kami rezeki-Mu Ya Allah.”tangannya ia tengadahkan dengan sebaris doa terlantun indah dari hatinya.
            Melihat itu, Suntari hanya bisa menangis. Batinnya teriris-iris seperti disayat samurai yang sangat tajam menjadi potongan kecil tak berbentuk. Ia miris, pedih, dan kecewa pada dirinya sendiri. Anak gadisnya itu... sedang mengalami kesakitan. Ia tahu jelas hal itu, karena ia juga merasakannya, namun tetap saja ia tak tega melihat anak kandungnya dalam keadaan seperti itu.
            Suntari mengambil air wudhu dan menegakkan sholat.
”Tejo... kami kelaparan. Mariyam terlihat lapar sekali... sedari tadi ia terus memegangi perutnya, aku tahu itu menyakitkan,sakit sekali. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku menghadapi ini?Kami merindukanmu,Tejo. Mungkin bila kau masih ada... ini tidak akan pernah terjadi. Kepergianmu menjadi kesengsaraan buat kami.” dalam doa selesai sholat maghrib, Suntari menceritakan segala keluh kesahnya saat ini. Ingatannya kembali kepada almarhum suaminya.Yang sudah meninggalkan keluarganya 2 tahun yang lalu . Ia rindu masa-masa bahagia dulu, bukan saat-saat seperti ini. Bukan.
            Selepas sholat itu, Suntari beranjak keluar  rumah. Ia mencoba menemukan sesuatu untuk dimakan. Untuk anak gadisnya,Mariyam. Dalam kegelapan malam yang mulai bergulir, ia berjalan membungkuk.Serasa sudah tak kuat menopang beban tubuhnya sendiri. Tubuh itu memang tak lagi muda. Lekukan di bagian tulang belakangnya sudah mulai terlihat, ia bungkuk. Tiap langkah kakinya ia lakukan perlahan, itu pun masih sulit. Beruntung ada sebuah tongkat yang menegakkan langkah-langkah itu. Kerikil yang menghadang jalannya tak menjadi hambatan. Satu demi satu batuan kecil itu ia lewati dengan sangat hari-hati. Dengan kalimat istighfar yang selalu menghias bibir mudanya. Entah mengapa, bibir itu masih terhilat muda, sedikit sekali kerutan di sana. Mungkin ini karena lantunan doa yang terus ia panjatkan.Setiap hari,setiap waktu,bahkan,,,setiap detik.
            ”Ya, Allah. Ya Rabb... Kemanakah langkah kaki ini akan mencari? Hamba sudah lelah, ingin berhenti.Terasa tak kuat lagi badan ini. Tapi... Tapi anak hamba, ia sedang kelaparan di rumah. Beri hamba jalan, Ya Allah. Engakulah Penguasa Kehidupan ini. Engkaulah yang mengatur rizky,yang maha memberi. Ya Tuhan. Tolonglah.... Beri hamba jalan.”
Ia menatap bulan yang sedang bersinar terang. Bulat, putih, dan cahayanya sangatlah indah . Doa melantun dalam sinar purnama. Semua masalah  ia serahkan pada-Nya.
            Tiba-tiba....debuggg......sesuatu jatuh.
            Matanya menatap sebuah benda.Tajam seperti serigala yang sudah mengincar mangsa.    Teronggok dalam semak belukar tak terurus. Ia mendekat mencoba mencari tahu apa benda itu.
”Ah...pepaya.”
jeritnya kegirangan. Ia mengambil sebuah pepaya yang baru jatuh dimakan kelelawar yang digerogoti di sebelah atasnya, tergeletak di tanah yang tinggi2 rumput disekitarnya.
”Alhamdullilah”
Kata terucap dari lelah yang menyertainya.Senyum kecil terlihat dari lesung pipinya yang sudah agak mengeriput itu.
            Sebuah pepaya yang baru dimakan kelelawar ia temukan.  Langsung saja ia bawa pulang kerumah. Berharap ini bisa menjadi bekal pengganjal perutnya dan putrinya di rumah. Cepat ia berjalan kembali menuju putrinya yang kesakitan itu. Tapi...
            ”Tunggu! Tunggu Nek...”
dari arah belakang tiba-tiba seseorang berteriak.
            Seorang pria dewasa datang menghampiri Suntari.
”Stop!!!!! Ini... ini buah pepaya saya. Kenapa Nenek mengambilnya? Berikan!!!!!!”
orang itu menghentak padaSuntari dengan tegasnya. Langsung ia merebut sebuah pepaya itu dari tanganSuntari, sontak hal itu memuat Suntari kaget dan tersungkur jatuh.
            ”Pak... itu saya temukan. Saya tidak mencurinya, itu sudah terjatuh di semak-semak.Sudah pula dimakan codot di bagian atasnya”
Suntari mencoba melawan orang itu sembari berdiri dengan tongkatnya.
            ”Tapi pepaya ini dari pohon saya. Sayalah pemiliknya!!!! Nenek mengambil tanpa seizin saya. Itu mencuri namanya.”
Mengacungkan jari tepat di depan muka Suntari.
“SAYA TUNTUT NANTI!!!!!”
ancaman itu begitu menancap dihati Suntari. Ia kaget dan tak percaya, hanya karena sebuah pepaya, ia dituduh mencuri.
            “TIDAK! Tidak, Pak. Saya tidak mencuri, saya hanya mengambilnya. Tolong Pak, anak saya sedang kesakitan di rumah, ia sangat lapar. Tolong beri kami pepaya itu...”
Suntari mencoba memelas,memohon seperti memanjatkan doa. Ia bersujud, tangannya memegang erat kaki besar orang itu. Dengan segala muka minta belas kasihan yang terlihat di wajah tua itu.
            Dengan tangisan kemelasan, Suntari terus mencoba membujuk orang itu. Namun sayang, usahanya sia-sia belaka. Orang itu tetap ngotot, malah semakin marah.Kejam,tak berprikemanusiaan.Tega melakukan itu terhadap orang tua. Ia menuntut tindakan mencuri yang telah dilakukanSuntari. Meja hijau... Ya, ia akan membawa perkara ini ke meja hijau.Hanya karna sebuah pepaya yang tak berharga.Ia tega memperpanjang kasus sepele itu terhadap orang tua yang sedang mencari makan untuk anak gadisnya yang kelaparan di rumah.Sungguh sangatlah tega,astaugfirllah.....
            Seminggu berselang, Suntari dibawa ke pengadilan negeri setempat dalam kasus pencurian tak sengaja yang dilakukannya. Ia akan menjalani sidang terkait tindakan memungut sebuah pepaya yang ditemukannya yang ia lakukan seminggu silam. Ia benar-benar tak menyangka akan berakhir seperti ini. Padahal dalam benaknya tak pernah sedikitpun terbesit niat untuk melakukan hal itu. Mencuri??tak pernah ada niatan buruk yang terbesit dipikirannya. Ia dituduh... dan tak berdaya dengan tuduhan itu!Kesalahan besar memperpanjang kasus sepele  yang tak sewajarnya sampai meja hijau yang didalamnya terdapat kasus-kasus besar.

***

Setelah mengingat kejadian piluh dengan keadaan setengah sadar, Suntari semakin tidak kuasa untuk meneteskan air matanya, dia benar-benar tidak kuat lagi dan bingung harus berbuat apa. Kali ini Suntari pingsan untuk yang kedua kalinya. Dua hari telah berlalu begitu saja. Begitu siuman, Suntari sangat kebingungan. Ia tak tahu sedang berada di mana saat ini. Kata terakhir yang terlintas dalam kepalanya adalah saat hakim memvonis dirinya bersalah dengan hukuman delapan bulan penjara.
            Ia tak bisa berkata-kata apa lagi. Mulutnya kelu untuk memprotes sikap hakim yang seakan menindas kaum bawah seperti dirinya. Sesak sekali nafas keluar dari mulutnya.Tak habis pikir, ia akan dijatuhi hukuman seberat itu hanya karena sebuah pepaya itu yang ia pungut, bukan mencurinya.
            ”Inikah keadilan yang digembar-gemborkan negeri ini? Inikah Indonesia dengan prinsip hukumnya? Memang kami tak tahu jalan aturan negeri ini. Tapi setidaknya hargai kami sebagai bagian dari negeri ini.Ini sama saja dengan rakyat kecil ditindas!!!!penguasa bersalah dilindungi,dibiarkan kasusnya”
            Dalam kebimbangan yang teramat sangat, ia berpasrah diri pada Allah Swt. Ia tak tahu lagi apa yang akan ia lakukan. Ia telah kalah dan hakim telah memutuskan kekalahan itu. Penjara selama delapan bulan enam hari , itu akan menjadi rutinitas hidupnya kini.Di dalam jeruji penjara yang selama ini belum pernah ia sentuhnya.Sungguh malang masibnya.
            Itulah.... Negeri ini seakan membual dengan janji-janji keadilannya. Hakim tidak lagi memihak yang benar, tapi memihak yang beruang.Yang miskin dibodohi,yang kaya dibudayakan. Bukan lagi prinsip keadilan melainkan prinsip keuangan yang mengembang dalam jiwa-jiwa hedois masa kini. Rakyat kecil menjadi korban. Mereka menangis... mereka menjerit... dan mereka tersakiti... Teronggok dalam jurang keadilan semu. Keadilan dalam kubangan uang hitam.
            Marjinal Predator melantunkan syairnya....
Gilanya tradisi yang ada didunia ini
Siapa yang kuat dialah yang berkuasa
Berlomba-lomba tuk mengincar-incari mangsa
Jika manusia tak kenal lagi manusia
Jilat-menjilat itu mah sudah biasa
Tikam sana tikam sini dan siap memangsa
He . . . hei terasu
Yang menjadi srigala tuk manusia yang lainnya
Manusia semakin gila
**
Yang kuat menguasai yang lemah dikorupsi
Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin
Yang pintar membodohi yang bodoh dibudayakan
Boikot boikot budaya yang memiskinkan
Boikot boikot budaya yang merusak
Boikot boikot budaya yang memiskinkan
Boikot boikot budaya yang merusak
He . . . . hei terasu
Saling menghisap jilat-menjilat saling injak-menginjak
Rampas-merampas tak pernah puas jadi semakin buas
Manusia semakin tak isi
Akhir kata...
”Hukum rimba masih ada....yang berkuasa itulah pemenangnya.Yang lemah akan selalu ditindas sampai akhir hayatnya.Uang dinomor satukan.Kesejahteraan ada di akhir sebuah penderitaan.”

SEKIAN


No comments:

Post a Comment