KESALAHAN SEBUAH PEPAYA
Karya : Dwi Putra
“Tok...tok...tokkkkk”
Suara palu berbunyi 3x. Ketuk
palu dihentakkan keras pada meja hijau itu.Terasa sangat berdenging di telinga
. Semua orang
terhentak tak percaya. Tercengang bingung tak berkata-kata. Hati terasa sakit
mendengarnya. Air mata mulai bercucuran menghambur di hampir setiap yang
menyaksikan itu.
Ya,benar. Hakim telah mengetukkan palu.
Persidangan telah selesai dilangsungkan dengan keputusan yang memberatkan Suntari.
Delapan bulan enam hari, itulah hukuman yang dibacakan oleh hakim di
persidangan .Keputusan yang tak dapat diubah lagi dalam pasalnya. Semua orang
tersentak, benar-benar tak percaya akan hal itu.
Dalam
sidang itu Suntari hanya terdiam, kata-kata pun seolah sulit sekali terucap
dari mulutnya. Hanya air mata yang terus mengalir tanpa henti membasahi
kerutan-kerutan diwajahnya. Hatinya membeku, ia tak tahu apa yang harus ia
lakukan. Seperti hanya pasrah menghadapi semua ini. Kini hanya hukuman penjara
yang sedang membias dalam pikirannya. Hukuman delapan bulan penjara itu
memenuhi isi otaknya.Membuat dia terpaku kaku didepan hakim yang mengadilinya.
”Hakim gobloook...!! Tolol... Tidak tahu
maluuuu.......!!!!! Liat! Liat!!Anda punya mata...???? Dia orang tua... Tega
kau menghukumnya? TEGA? Berapa kau dibayar, HAH?”seseorang berdiri dan
mengumpat keras. Sambil mata melotot, menghujat keputusan tak pantas itu.
Seluruh
orang yang menyaksikan itu merasakan kepedihan,kemarahan
yang sama pula. Mereka kecewa atas keputusan hakim yang memberatkan orang tua
itu.
”INI
TIDAK ADIL”salah seorang warga kembali mengumpat penuh kekesalan.
“Obrak-abrik… buat berantakkan tempat ini.
Keadilan harus ditegakkan! Harus!!”semua orang berdiri dari tempatnya. Tangan
mulai dihentak-hentakkan pada meja-meja persidangan.Kegaduhanpun mengiringi
langkah si terpidana.
Itulah
suara terakhir yang didengar Suntari sebelum dirinya jatuh pingsan dalam ruang
persidangan yang memanas itu.
Hanya selang beberapa menit
saja, Suntari langsung
setengah sadar dari pingsannya. Dengan sorotan matanya yang sayu, dia masih
ingat kejadian beberapa menit yang lalu. Mata sayu itu sekaligus kosong dan
perih, karena ingatan beberapa menit yang lalu itu mengantarkan ingatan Suntari
akan kejadian tragis seminggu yang lalu yang mengantarkan dirinya sampai di
meja hijau.
Kerumunan orang-orang di
sekitar tidak lagi terlihat sebagai kerumunan orang-orang dimata sayu Suntari, melainkan yang tergambar adalah masa lalunya,kesalahannya...
Dalam
keheningan senja yang menyalakan parade keemasan mentari, dinding-dinding rumah
itu bergetar-getaran yang layaknya gempa berkekuatan
6,5 skala richter yang mengguncang
tanah dan lautan. Ya, seorang anak kecil terlihat sedang menggigil tepat di
sisi dinding geribik itu. Namanya adalah Mariyam, anak gadis dari Suntari.
Tubuh Mariam gemetar, kedingingan yang menerpa tubuhnya begitu amat dirasakan,
terlebih perutnya kosong tanpa ada makanan yang dicerna oleh usus-usus
lembutnya dan cacing yang meronta-ronta.
Tangannya
ia lingkarkan pada perut itu,seperti sangat terbelit, menahan sekuat tenaga
keperihan yang sedang ia derita. Ya, sedari kemarin malam dirinya tidak memakan
sesuatu apapun.Satu biji beras pun tak melewati tenggorokannya. Bukan tidak
mau, melainkan tidak ada satupun makanan yang dapat ia makan. Hanya air sumur
yang berwarna kekuningan yang menjadi
pereda rasa sakitnya, ditambah doa dan harapan yang terus mengalir dari bibir
mungilnya.
”Sakit.., Ya Allah. Tolong berikan kami
rezeki-Mu Ya Allah.”tangannya ia tengadahkan dengan sebaris doa terlantun indah
dari hatinya.
Melihat
itu, Suntari hanya bisa menangis. Batinnya teriris-iris seperti disayat samurai
yang sangat tajam menjadi potongan kecil tak berbentuk. Ia miris, pedih, dan kecewa
pada dirinya sendiri. Anak gadisnya itu... sedang mengalami kesakitan. Ia tahu
jelas hal itu, karena ia juga merasakannya, namun tetap saja ia tak tega
melihat anak kandungnya dalam keadaan seperti itu.
Suntari
mengambil air wudhu dan menegakkan sholat.
”Tejo... kami kelaparan. Mariyam terlihat lapar
sekali... sedari tadi ia terus memegangi perutnya, aku tahu itu
menyakitkan,sakit sekali. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana aku menghadapi
ini?Kami merindukanmu,Tejo. Mungkin bila kau masih ada... ini tidak akan pernah
terjadi. Kepergianmu menjadi kesengsaraan buat kami.” dalam doa selesai sholat
maghrib, Suntari menceritakan segala keluh kesahnya saat ini. Ingatannya
kembali kepada almarhum suaminya.Yang sudah meninggalkan keluarganya 2 tahun
yang lalu . Ia rindu masa-masa bahagia dulu, bukan saat-saat seperti ini.
Bukan.
Selepas
sholat itu, Suntari beranjak keluar rumah. Ia mencoba menemukan sesuatu untuk dimakan. Untuk anak gadisnya,Mariyam.
Dalam kegelapan malam yang mulai bergulir, ia berjalan membungkuk.Serasa sudah
tak kuat menopang beban tubuhnya sendiri. Tubuh itu memang tak lagi muda.
Lekukan di bagian tulang belakangnya sudah mulai terlihat, ia bungkuk. Tiap
langkah kakinya ia lakukan perlahan, itu pun masih sulit. Beruntung ada sebuah
tongkat yang menegakkan langkah-langkah itu. Kerikil yang menghadang jalannya
tak menjadi hambatan. Satu demi satu batuan kecil itu ia lewati dengan sangat
hari-hati. Dengan kalimat istighfar yang selalu menghias bibir mudanya. Entah
mengapa, bibir itu masih terhilat muda, sedikit sekali kerutan di sana. Mungkin
ini karena lantunan doa yang terus ia panjatkan.Setiap hari,setiap
waktu,bahkan,,,setiap detik.
”Ya,
Allah. Ya Rabb... Kemanakah langkah kaki ini akan mencari? Hamba sudah lelah,
ingin berhenti.Terasa tak kuat lagi badan ini. Tapi... Tapi anak hamba, ia
sedang kelaparan di rumah. Beri hamba jalan, Ya Allah. Engakulah Penguasa
Kehidupan ini. Engkaulah yang mengatur rizky,yang maha memberi. Ya Tuhan.
Tolonglah.... Beri hamba
jalan.”
Ia menatap bulan yang sedang bersinar terang.
Bulat, putih, dan cahayanya sangatlah indah . Doa melantun dalam sinar purnama.
Semua masalah ia serahkan pada-Nya.
Tiba-tiba....debuggg......sesuatu
jatuh.
Matanya
menatap sebuah benda.Tajam seperti serigala yang sudah mengincar mangsa. Teronggok dalam semak belukar tak terurus. Ia
mendekat mencoba mencari tahu apa benda itu.
”Ah...pepaya.”
jeritnya kegirangan. Ia mengambil sebuah pepaya
yang baru jatuh dimakan kelelawar yang digerogoti di sebelah atasnya, tergeletak
di tanah yang tinggi2 rumput disekitarnya.
”Alhamdullilah”
Kata terucap dari lelah yang menyertainya.Senyum
kecil terlihat dari lesung pipinya yang sudah agak mengeriput itu.
Sebuah
pepaya yang baru dimakan kelelawar ia temukan. Langsung saja ia bawa pulang kerumah. Berharap
ini bisa menjadi bekal pengganjal perutnya dan putrinya di rumah. Cepat ia
berjalan kembali menuju putrinya yang kesakitan itu. Tapi...
”Tunggu!
Tunggu Nek...”
dari arah belakang tiba-tiba seseorang berteriak.
Seorang
pria dewasa datang menghampiri Suntari.
”Stop!!!!! Ini... ini buah pepaya saya. Kenapa
Nenek mengambilnya? Berikan!!!!!!”
orang itu menghentak padaSuntari dengan tegasnya.
Langsung ia merebut sebuah pepaya itu dari tanganSuntari, sontak hal itu memuat
Suntari kaget dan tersungkur jatuh.
”Pak...
itu saya temukan. Saya tidak mencurinya, itu sudah terjatuh di semak-semak.Sudah
pula dimakan codot di bagian atasnya”
Suntari mencoba melawan orang itu sembari berdiri
dengan tongkatnya.
”Tapi pepaya ini dari pohon saya. Sayalah
pemiliknya!!!! Nenek mengambil tanpa seizin saya. Itu mencuri namanya.”
Mengacungkan jari tepat di depan muka Suntari.
“SAYA TUNTUT NANTI!!!!!”
ancaman itu begitu menancap dihati Suntari. Ia
kaget dan tak percaya, hanya karena sebuah pepaya, ia dituduh mencuri.
“TIDAK!
Tidak, Pak. Saya tidak mencuri, saya hanya mengambilnya. Tolong Pak, anak saya
sedang kesakitan di rumah, ia sangat lapar. Tolong beri kami pepaya itu...”
Suntari mencoba memelas,memohon seperti
memanjatkan doa. Ia bersujud, tangannya memegang erat kaki besar orang itu.
Dengan segala muka minta belas kasihan yang terlihat di wajah tua itu.
Dengan tangisan kemelasan, Suntari terus
mencoba membujuk orang itu. Namun sayang, usahanya sia-sia belaka. Orang itu
tetap ngotot, malah semakin marah.Kejam,tak berprikemanusiaan.Tega melakukan
itu terhadap orang tua. Ia menuntut tindakan mencuri yang telah dilakukanSuntari.
Meja hijau... Ya, ia akan membawa perkara ini ke meja hijau.Hanya karna sebuah
pepaya yang tak berharga.Ia tega memperpanjang kasus sepele itu terhadap orang
tua yang sedang mencari makan untuk anak gadisnya yang kelaparan di
rumah.Sungguh sangatlah tega,astaugfirllah.....
Seminggu
berselang, Suntari dibawa ke pengadilan negeri setempat dalam kasus pencurian
tak sengaja yang dilakukannya. Ia akan menjalani sidang terkait tindakan
memungut sebuah pepaya yang ditemukannya yang ia lakukan seminggu silam. Ia
benar-benar tak menyangka akan berakhir seperti ini. Padahal dalam benaknya tak
pernah sedikitpun terbesit niat untuk melakukan hal itu. Mencuri??tak pernah
ada niatan buruk yang terbesit dipikirannya. Ia dituduh... dan tak berdaya
dengan tuduhan itu!Kesalahan besar memperpanjang kasus sepele yang tak sewajarnya sampai meja hijau yang
didalamnya terdapat kasus-kasus besar.
***
Setelah mengingat kejadian
piluh dengan keadaan setengah sadar, Suntari semakin tidak kuasa untuk meneteskan air matanya,
dia benar-benar tidak kuat lagi dan bingung harus berbuat apa. Kali ini Suntari
pingsan untuk yang kedua kalinya.
Dua hari telah berlalu begitu saja. Begitu siuman, Suntari sangat kebingungan. Ia tak tahu sedang berada di
mana saat ini. Kata terakhir yang terlintas dalam kepalanya adalah saat hakim
memvonis dirinya bersalah dengan hukuman delapan bulan penjara.
Ia tak bisa berkata-kata apa lagi.
Mulutnya kelu untuk memprotes sikap hakim yang seakan menindas kaum bawah
seperti dirinya. Sesak sekali nafas keluar dari mulutnya.Tak habis pikir, ia
akan dijatuhi hukuman seberat itu hanya karena sebuah pepaya itu yang ia
pungut, bukan mencurinya.
”Inikah
keadilan yang digembar-gemborkan negeri ini? Inikah Indonesia dengan prinsip
hukumnya? Memang kami tak tahu jalan aturan negeri ini. Tapi setidaknya hargai
kami sebagai bagian dari negeri ini.Ini sama saja dengan rakyat kecil
ditindas!!!!penguasa bersalah dilindungi,dibiarkan kasusnya”
Dalam
kebimbangan yang teramat sangat, ia berpasrah diri pada Allah Swt. Ia tak tahu lagi apa yang akan ia lakukan. Ia telah kalah dan hakim telah
memutuskan kekalahan itu. Penjara selama delapan bulan enam hari , itu akan menjadi
rutinitas hidupnya kini.Di dalam jeruji penjara yang selama ini belum pernah ia
sentuhnya.Sungguh malang masibnya.
Itulah....
Negeri ini seakan membual dengan janji-janji keadilannya. Hakim tidak lagi
memihak yang benar, tapi memihak yang beruang.Yang miskin dibodohi,yang kaya
dibudayakan. Bukan lagi prinsip keadilan melainkan prinsip keuangan yang
mengembang dalam jiwa-jiwa hedois masa kini. Rakyat kecil menjadi korban.
Mereka menangis... mereka menjerit... dan mereka tersakiti... Teronggok dalam
jurang keadilan semu. Keadilan dalam kubangan uang hitam.
Marjinal
Predator melantunkan syairnya....
Gilanya tradisi yang ada didunia ini
Siapa yang kuat dialah yang berkuasa
Berlomba-lomba tuk mengincar-incari mangsa
Jika manusia tak kenal lagi manusia
Siapa yang kuat dialah yang berkuasa
Berlomba-lomba tuk mengincar-incari mangsa
Jika manusia tak kenal lagi manusia
Jilat-menjilat itu mah sudah biasa
Tikam sana tikam sini dan siap memangsa
He . . . hei terasu
Yang menjadi srigala tuk manusia yang lainnya
Manusia semakin gila
Tikam sana tikam sini dan siap memangsa
He . . . hei terasu
Yang menjadi srigala tuk manusia yang lainnya
Manusia semakin gila
**
Yang kuat menguasai yang lemah dikorupsi
Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin
Yang pintar membodohi yang bodoh dibudayakan
Yang kuat menguasai yang lemah dikorupsi
Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin
Yang pintar membodohi yang bodoh dibudayakan
Boikot boikot budaya yang memiskinkan
Boikot boikot budaya yang merusak
Boikot boikot budaya yang memiskinkan
Boikot boikot budaya yang merusak
Boikot boikot budaya yang merusak
Boikot boikot budaya yang memiskinkan
Boikot boikot budaya yang merusak
He . . . . hei terasu
Saling menghisap jilat-menjilat saling injak-menginjak
Rampas-merampas tak pernah puas jadi semakin buas
Saling menghisap jilat-menjilat saling injak-menginjak
Rampas-merampas tak pernah puas jadi semakin buas
Manusia semakin tak isi
Akhir kata...
”Hukum rimba masih ada....yang berkuasa itulah
pemenangnya.Yang lemah akan selalu ditindas sampai akhir hayatnya.Uang dinomor
satukan.Kesejahteraan ada di akhir sebuah penderitaan.”
SEKIAN
No comments:
Post a Comment